Nilai ideologi dalam karya sastra Novel Canting


Nilai ideologi dalam karya sastra Novel Canting
(Mega Purnama)

 
Dalam konteks kesusastraan Indonesia, ideologi dalam sastra sepatutnya memiliki makna bagi kepentingan sastra Indonesia dengan tujuan akhir menempatkan manusia Indonesia sebagai obyek sekaligus subyek sastra dalam rangka memaknai zaman. Ideologi sendiri memiliki arti yaitu, seperangkat nilai atau pemikiran yang dijadikan oleh seseorang atau sekelompok orang menjadi suatu pegangan hidup. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa pendekatan mimetik merupakan suatu pendekatan yang didasarkan pada peniruan, pencerminan, atau refleksi terhadap dunia luar, alam, kehidupan, dsb. Oleh karena itu, untuk melihat nilai ideologi yang terkadung dalam Novel Canting, digunakanlah pendekatan mimetik.
Pencerminan nilai ideologi yang ditemukan dalam novel canting yaitu, terlihat dari amanat yang hendak disampaikan penulis terhadap pembacanya yaitu mengenai semangat perubahan zaman. Disampaikan bahwa janganlah mencoba melawan semangat perubahan zaman karena hal ini hanya akan mengakibatkan kekalahan, cara terbaik untuk menghadapi perubahan zaman itu dengan melebur diri tanpa harus kehilangan jati diri. Dari amanat ini tercerminkan nilai ideologi yang saat ini dalam kehidupan bermasyarakat juga sedang menjadi sorotan. Hal ini mencerinkan kondisi bangsa Indonesia yang memiliki begitu banyak suku dan budaya. Seiring perkembangan kemajuan teknologi, keberadaan budaya bangsa Indonesia pun perlu dikhawatirkan. Banyak orang yang beralih mengikuti kemajuan teknologi dibandingkan mengikuti budaya / adat yang dianggap lebih rumit dan terbilang kuno, sebagai contoh yaitu batik dalam budaya Jawa.
 Sejak tahun 2009, tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional. Pemerintah menetapkan tanggal tersebut bukan tanpa alasan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 November 2009 menerbitkan Keputusan Presiden No 33 Tahun 2009 tentang Hari Batik nasional. Educational, Scientific, and Cultural Organisation (UNESCO) Badan PBB yang mengurusi persoalan pendidikan dan kebudayaan menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) milik Indonesia. Hal ini diharakan dapat menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan masyarakat terhadap kebudayaan Indonesia. Penetapan hari Batik Nasional juga dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap upaya perlindungan dan pengembangan batik Indonesia. Sejak saat itu konsumsi masyarakat terhadap pakaian batik menjadi meningkat, hal ini tentu menjadi daya tarik bagi para produsen pembuat batik. Sayangnya, diantara para produsen batik ini banyak yang lebih mengutamakan nilai ekonomi dibanding nilai keindahan batik. Hingga munculah teknik pembuatan batik yang disebut batik printing. Dengan teknik ini, para pembatik tak lagi harus berlama-lama dan bersusah payah membuat batik (seperti halnya saat menggunakan canting), karena dengan teknik printing, corak batik yang diinginkan langsung dapat di cetak/print menggunakan bantuan mesin, dan mendapatkan jumlah yang banyak dalam sekali produksi. Terlihat bahwa persaingan ini membuat para pembatik canting menjadi kebingungan, karena para konsumen lebih banyak yang memilih menggunakan batik print karena dari segi harga yang terbilang murah, berbeda dengan batik canting. Dari fenomena inilah Arswendo melakukan refleksi dalam novel, melalui novel, penulis berusaha memberikan penerangan untuk para pembatik canting, hal ini terlihat dalam kutipan berikut,
“Canting tak perlu mengangkat bendera tinggi-tinggi, karena canting sekarang ini bukan cap dulu yang dianggap budi luhung oleh sebagian besar pemakainya. Maka tak ada pilihan lagi bagi Ni Jika ingin tetap hidup dan menghidupkan kembali usaha ibunya, ia harus melebur diri; canting harus melebur dirinya; cara bertahan dan bisa melejit, bukan dengan menjerit, bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur dir. Ketika ia melepaskan cap canting, ketika itulah usaha batiknya jalan.

Penyelesaian yang dilakukan penulis dalam novel menunjukkan bahwa pada kenyataannya, suatu budaya tidak dapat bertahan di era teknologi apabila tetap pada kekhasan budaya tersebut. Apalagi ditambah dengan para generasi muda yang masih awam akan bekal pengetahuan budaya, justru lebih paham akan kemajuan teknologi. Karena, yang nantinya melanjutkan budaya tersebut adalah para generasi muda.

1.      Menurut Gerhard Ebeling yang ditulis Palmer, bahwa kata hermeneutic sendiri memiliki tiga bentuk penggunaan, yaitu: 1) menyampaikan; to say; to express; to assert, 2) menjelaskan; to explain, 3) menerjemahkan; to translate. Sedangkan ketiga aspek dari bentuk penggunaan kata hermeneuein sebenarnya dapatlah diwakilkan di dalam satu kata kerja bahasa Inggris: to interpret (interpretasi). Hermenetik menurut pandangan kritik sastra ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpretasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra, terutama dalam prosesnya, pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal dan prinsip yang tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara mendalam guna memperoleh pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini, perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, si penafsir mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya si penafsir untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Analisis Puisi Jante Arkidam

Rekayasa Puisi Menjadi Cerpen

Analisis Fonem Bahasa Li Niha