Analisis Puisi Taufiq Ismail
Puisi
Lonceng Tinju Karya
Taufiq Ismail,
Sebagai
Makna Realitas
Oleh Mega Purnama
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Puisi merupakan hasil curahan penyair yang diterjemahkan
dalam susunan kata-kata, lalu tersusun dalam bait-bait berirama dan
memiliki makna yang dalam. Sumber curahan penyair ini tak jarang
berdasarkan penggambaran kehidupan. Baik itu berupa pengalaman si
penyair, ataupun peristiwa yang sedang terjadi pada saat itu. Akan
tetapi, tidak semata-mata menjiplak kenyataan yang ada, namun
terdapat proses kreatif di sini. Penyair
menciptakan kembali kenyataan, seperti barang-barang yang pernah ada,
atau peristiwa yang ada (fakta dari masa kini atau masa silam,
keyakinan atau cita-cita) yang kemudian penyair membubuhkannya dengan
imajinasinya.
Dalam pendekatan puisi, hal serupa ini tergolong pada
pendekatan Mimesis. Suatu pendekatan yang bertolak pada pandangan
bahwa karya sastra merupakan suatu tiruan atau penggambaran dunia dan
kehidupan manusia /karya sastra dengan alam (Abrams, 1981). Jadi,
bertolak dari pemikiran bahwa sastra sebagaimana halnya karya seni
lain, adalah pencerminan dari kehidupan nyata, yang merupakan tiruan
atau perpaduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarangnya (dalam
hal ini penyairnya)yang bertolak dari kenyataan.
Berdasarkan pendekatan mimesis ini, penulis mencoba
menganalisis makna realitas yang ada pada puisi Lonceng
Tinju karya Taufiq Ismail. Untuk mengetahui
peristiwa apa yang terjadi di dalamnya. Dengan mengkaitkan petunjuk
yang ada dengan kenyataan.
PEMBAHASAN
Puisi
Lonceng Tinju, karya
Taufiq Ismail
Setiap
kali lonceng berkleneng
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian
Setiap lonceng berklenengan
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”
Kini lagi, bel itu berklenengan
Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian.
(Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, 1987:127)
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian
Setiap lonceng berklenengan
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”
Kini lagi, bel itu berklenengan
Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian.
(Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, 1987:127)
2.1
Analisis Berdasarkan puisi di atas,
- Puisi Lonceng Tinju ini, menggambarkan atau memiliki makna peristiwa mengenai olahraga tinju di Indonesia. Berdasarkan tahunnya yaitu 1987, petinju asal Indonesia yang sedang ramai dibicarakan yaitu Ellyas Pical.
- Penggunaan kata ‘mereka’ pada kalimat setiap kali mereka bangkit, ditunjukkan untuk petinju Indonesia (khususnya Ellyas Pical)
- Antusias masyarakat pada saat itu untuk menonton pertandingan tinju sangatlah besar (digambarkan pada kalimat setiap teriakan histeria, bergemuruh suaranya), menjelaskan betapa tinju menjadi sorotan utama pada tahun 80-an. Terlebih dengan munculnya Ellyas Pical atau juga sering dipanggil Elly Pical, yang menjadi kebanggaan baru masyarakat Indonesia saat itu, karena dia menjadi petinju Indonesia pertama yang berhasil menjadi juara tinju dunia kelas bantam junior IBF dunia. Karena sebelumnya, masyarakat Indonesia hanya disuguhi tontonan pertandingan tinju profesional di luar negeri, dengan penampilan memikat petinju Amerika Serikat, Muhammad Ali.
- Tinju dikenyataannya kini justru menjadi hiburan bagi masyarakat Indonesia, padahal jika dilihat dari sisi kemanusiaan dan manusiawi kita, hal itu sangatlah menyedihkan, karena dimana dua orang tidak saling kenal, tidak ada dendam, disuruh bertarung; belum lagi kalau ada luka, darah yang keluar dari kepala si petinju, belum lagi ekspresi kesakitan saat bogem mentah tepat di rahang lawan. Pada puisi dapat dilihat pada larik ke-5 (setiap teriakan histeria), dan larik ke-6 (bergemuruh suaranya) menandakan betapa senangnya masyarakat menyaksikan tinju.
- Pada puisi larik ke 15 (jangan kamu mengadu ayam) dan 19 (jangan kamu mengadu hewan), menjelaskan bahwa tinju yang dilakukan manusia tidaklah berbeda dengan adu ayam, seolah-olah manusia mau saja diadu untuk sebuah kepentingan sesaat(dalam hal ini dilakukan demi harga diri dan uang).
- Pada puisi larik ke-7 (aku kelu), ke -8 (dan merasa di pojok), dan ke-9 (sendirian), dimaknai sebagai, sebagian masyarakat yang memiliki hati atau perasaan tak tega melihat aksi saling adu ini. Mereka yang berhati ini merasa bahwa kenapa hanya dia yang merasakan, dan yang lainnya justru bersemangat untuk bersorak-sorak. Sesuai dengan kenyataannya memang, orang yang merasa senang dan terhibur pastinya akan bersorak gembira melihatnya, berbeda dengan orang yang merasa tak tega, mereka hanya bisa merenung dan mengasihani apa yang terjadi. Ingin berontak pun tak bisa, karena kalah suara dengan yang mendukung tinju.
- Pada larik ke-20 (kini lagi, bel itu berkleneng), ke-21 (aku tersudut, bisu), ke- 22 (dan makin merasa), dan larik ke-23 (sendirian), menjelaskan bahwa pertandingan tinju ini masih terus berlanjut dan masih banyak digemari sampai dengan saat ini. Dan sekali lagi, untuk masyarakat yang memiliki rasa kemanusiaan hanya bisa semakin diam dan prihatin.
Dengan bel yang berkleneng lagi, bermakna juga bahwa akan ada
petinju-petinju baru yang akan menggantikan Ellyas Pical. Ellyas
sementara akan terlupakan, karena memang dia sudah tak sanggup
melakukan pertandingan lagi dan masa kejayaannya hilang, begitu juga
dengan sorak-sorai masyarakat yang mendukungnya dahulu. Dengan
redupnya Ellyas, kini ia melanjutkan hidupnya dengan bekerja sebagai
penjaga keamanan disebuah diskotik. Ironi memang kenyataannya, dahulu
ia dipuju dan dikagumi, namun sekarang dia terlupakan.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa, puisi Lonceng
Tinju ini sesuai jika dianalisis berdasarkan
pendekatan mimesis. Dikarenakan banyaknya makna dalam puisi yang
sesuai dengan realitas kehidupan (khususnya masyarakat Indonesia).
Bahwa pertandingan tinju pada tahun 1987 memang sedang maraknya.
Kebanyakan masyarakat sangat antusias untuk menyaksikan tinju. Namun
hal itu berlainan untuk beberapa orang yang menganggap tinju itu
sadis atau tidak berperikemanusiaan. Tapi apa boleh buat, mereka tak
bisa berbuat apa-apa, karena tinju tetap ada dan semakin banyak pula
penggemarnya sampai saat ini.
3.2
Saran
Untuk menganalisis kenyataan yang ada di kehidupan pada
puisi ini, memang harus teliti. Petunjuk-petunjuk yang ada pasti
memiliki arti tersendiri. Jadi setiap larik puisi, haruslah
benar-benar dipahami kemudian baru dilihat pada kenyataannya. Akan
menjadi mudah jika kita memiliki sumber referensi yang banyak
mengenai puisi tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Djojosuroto, Kinayati dan Pelenkahu, Noldy. 2008. Teori Apresiasi
dan Pembelajaran Prosa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Djojosuroto, Kinayati dan Pelenkahu, Noldy. 2009. Teoridan
Pemahaman Apresiasi Puisi. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra; Analisis Struktur
Puisi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
WS. Hasanuddin. 2009. Drama Karya Dalam Dua Dimensi; Kajian Teori,
Sejarah, dan Analisis. Bandung: Angkasa Bandung.
http://id.wikipedia.org/wiki/Tinju,
diunduh tanggal 28 November 2011
http://hiburan.kompasiana.com/gosip/2010/04/06/tinju-dan-sabung-ayam/,diunduh
tanggal 28 November 2011
Comments
Post a Comment