Analisis Novel


SISTEM PERJODOHAN BATAK SEBAGAI KULTUR PATRIARKI
DALAM NOVEL AZAB DAN SENGSARA
MERARI SIREGAR:
SUATU PENDEKATAN FEMINISME

Oleh : Mega Purnama
Abstrak
Novel Azab dan Sengsara dianggap sebagai tonggak lahirnya novel modern di Indonesia. Merari Siregar menulis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pengamatannya terhadap kehidupan masyarakat Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara. Di sanalah Merari dilahirkan dan dibesarkan sehingga terbiasa dengan adat mayarakatnya (masyarakat Batak). Namun, saat ia telah memperoleh pendidikan, ia mulai kritis terhadap adat masyarakat Sipirok, yang ia nilai tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam sistem perjodohan masyarakat Batak Angkola, menganut sistem seorang ayah memiliki otoritas yang besar dalam menentukan calon pendamping bagi anaknya. Sayangnya, dalam penentuan calon tersebut, seorang ayah dalam novel ini hanya melihat pada aspek material saja. Persoalan nikah paksa seperti yang dialami oleh Aminu’ddin dan Mariamin memang telah menjadi tradisi dalam masyarakat Sipirok, Jadi, pernikahan semacam ini telah berlangsung secara turun-temurun sejak kakek-nenek mereka.
Dalam masyarakat Batak marga menjadi sebuah ketentuan yang harus dipatuhi, karena dalam adat istiadat orang Batak, barang siapa yang hendak kawin, tiadalah boleh mengambil orang yang semarga dengan dia. Umpamanya laki-laki marga Siregar tiada boleh mengambil perempuan marga Siregar, meskipun mereka itu sudah jauh antaranya; artinya hanya nenek-nenek moyang mereka itu, yang hidup beratus tahun dahulu, yang bersaudara.

PENDAHULUAN
Novel Azab dan Sengsara dianggap sebagai tonggak lahirnya novel modern di Indonesia. Karya Merari ini tak lagi berbentuk hikayat, walau apabila ditinjau dari segi ceritanya, masih mengangkat persoalan kehidupan sehari-hari seperti dalam hikayat. Dalam novelnya ini, Merari membuat gebrakan baru pada hikayat, yang kita ketahui selalu mengungkapkan dunia istana, tapi kali ini Merari menampilkan unsur-unsur kritik sosial yang tidak pernah ditampilkan dalam hikayat.
Merari Siregar menulis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pengamatannya terhadap kehidupan masyarakat Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara. Di sanalah Merari dilahirkan dan dibesarkan sehingga terbiasa dengan adat mayarakatnya (masyarakat Batak). Namun, saat ia telah memperoleh pendidikan, ia mulai kritis terhadap adat masyarakat Sipirok, yang ia nilai tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
Sistem perjodohan menjadi salah satu polemik yang ingin diangkat seorang Merari. Perjodohan ini menjadi sebuah polemik, karena dalam masyarakat Batak Angkola yang menganut sistem, seorang ayah memiliki otoritas yang besar dalam menentukan calon pendamping bagi anaknya. Tampak bahwa dalam adat perjodohan ini juga mengandung kultur patriarki (sistem sosial, dimana Bapak memegang kontrol (kendali) atas seluruh anggota keluarga, kepemilikan barang, sumber pendapatan dan pemegang keputusan utama).
Kita ketahui sehubungan dengan sistem sosial ini, diyakini (dijadikan ideologi) bahwa pria lebih superior dibanding perempuan, sehingga perempuan sudah seharusnya dikendalikan (dikontrol) oleh pria, namun dalam novel ini menampilkan hal menarik, bahwa sistem perjodohan yang bercorak kultur patriarki ini juga dialami oleh tokoh pria yang digambarkan sudah memiliki penghidupan sendiri, tidak menumpang pada orang tua justru tak mampu melawan kehendak ayahnya. Jadi, melalui kondisi tokoh yang demikian, pengarang bermaksud mengetengahkan penderitaan akibat sistem perjodohan.
PENDEKATAN FEMINISME
Dimanapun, perempuan ternyata menarik untuk dibicarakan. Perempuan adalah sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu pihak, perempuan adalah keindahan. Pesonanya dapat membuat laki-laki tergila-gila. Di sisi lain, ia dianggap lemah. Anehnya, kelemahan itu dijadikan alasan oleh laki-laki jahat untuk mengeksploitasi keindahannya. Tragisnya, di antara para filosof pun yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan oleh Tuhan hanya untuk menyertai laki-laki (Sugihastuti dan Suharto, 2002:32). Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembang luasnya feminisme diberbagai penjuru dunia. Secara leksikal, Moeliono, dkk. (dalam Sugihastuti & Suharto 2002:6 1) menyatakan bahwa feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum laki-laki dan perempuan.
Yoder (dalam Sugihastuti & Suharto, 2002:5) menyebutkan bahwa kritik sastra feminis itu bukan berarti pengritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan. Arti sederhana kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang. Kritik sastra feminis berbeda dengan kritik-kritik yang lain, masalah kritik sastra feminis berkembang dari berbagai sumber. Dalam hal ini, diperlukan pandangan luas dalam bacaan-bacaan tentang perempuan. Bantuan disiplin ilmu lain seperti sejarah, psikologi, dan antropologi juga diperlukan serta perlu dipertimbangkan lagi teori sastra yang sudah dimiliki oleh kritikus sastra.
Salah satu aspek dari kajian feminisme adalah budaya patriarki. Budaya patriarki yang masih kuat dalam kehidupan sosial masyarakat menimbulkan beragam diskriminasi terhadap perempuan. Komunitas perempuan dianggap sebagai warga nomor dua, di bawah peran laki-laki. Karena itu, posisi dan peran perempuan tidak dianggap signifikan, hanya sebagai tumbal kepentingan laki-laki. Kondisi ini tidak jarang mengakibatkan tindak kekerasan oleh suami terhadap istrinya justru dilakukan sebagai bagian dari penggunaan otoritas yang diilikinya. Kekuasaan sistem patriarki adalah biang keladi di balik diskriminasi atau kekerasan terhadap perempuan.
Menurut Kate Millet (dalam Gadis Arivia, 2006:10) laki-laki telah mengontrol dunia publik dan privat, inilah yang disebut patriarki. Pengontrolan ini harus dilawan agar perempuan dapat menjadi bebas. Tetapi, ini bukan pekerjaan yang mudah. Untuk melawan pengontrolan laki-laki, baik perempuan maupun laki-laki harus sama-sama meniadakan ketimpangan jender, status, peran yang telah dikonstruksikan oleh budaya patriarki. Kekerasan terhadap perempuan tidak dapat lepas dari aturan sistem masyarakat patriarki. Pengaturan sistem ini begitu mengakar pada kepercayaan dan tradisi masyarakat yang ditumbuhkan sejak kecil.
Seperti halnya dengan kepercayaan dan sistem perjodohan dalam masyarakat Batak, yang digambarkan oleh Merari dalam novelnya Azab dan Sengsara. Sistem perjodohan ini juga dapat dikatakan sebagai bagian dari kultur partriarki, karena dalam sistem perjodohan masyarakat Batak ini menganut, bahwa seorang ayah memiliki otoritas yang besar dalam menentukan calon pendamping bagi anaknya. Terlihat jika peran laki-laki (ayah) memiliki andil yang besar dalam mengambil keputusan. Selain membahas mengenai sistem perjodohan, Merari juga ingin menyampaikan bahwa dari sistem perjodohan ini nantinya juga memiliki efek yang akan dirasakan bagi si anak yang dijodohkan. Dalam novel ini digambarkan salah satu tokohnya, Mariamin (gadis yang ditinggal pergi kekasihnya yang dijodohkan pula) yang dijodohkan ibunya kepada seorang lelaki yang dianggap mapan.

SISTEM PERJODOHAN BATAK,
SEBAGAI KULTUR PATRIARKI


Tokoh utama dalam novel ini, Aminu’ddin dan Mariamin yang tak berdaya menentang adat yang berlaku, meski mereka telah berpendidikan. Bahkan, Aminu’ddin yang sudah memiliki penghidupan sendiri, tidak menumpang pada orang tua, juga tak mampu melawan kehendak ayahnya.
Benar perbuatan kami ini tiada sebagai permintaan Anakanda, tetapi janganlah Anakku lupakan, keselamatan dan kesenangan anak itulah yang dipikirkan oleh kami orang tuamu. Oleh sebab itu, haruslah anak itu menurut kehendak orang tuanya kalau ia hendak selamat di dunia. “Terimalah menantu Ayahanda yang kubawa ini !”
Meskipun Aminu’ddin mula-mula menolak perkataan itu, tetapi pada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan dan paksaan orang itu semua. (AS, 2010: 151-152)

Nampak Aminu’ddin tidak dapat menolak gadis yang sudah dipilihkan oleh orang tuanya, dengan berbagai pertimbangan sampai ia akhirnya menerima. Dia berpikir ini semua sudah terlanjur, tidak dapat diundur lagi. Pemikiran Aminu’ddin juga masih dipengaruhi adatnya, yaitu bila anak gadis yang sudah dijemput oleh ayahnya itu dikembalikan kepada orang tuanya? Hal itu belum pernah terjadi dan bukan adat. Jelas, Aminu’ddin tidak mau membuat malu keluarganya dan melanggar adat.
Dalam sistem perjodohan juga muncul kultur patriarki. Dalam novel diceritakan, bahwa dahulu ibu Mariamin juga dijodohkan oleh orang tuanya dengan Sutan Baringin (ayah Mariamin sekarang). Dari perjodohan itu, tidak timbul rasa cinta dari Sutan Baringin kepada Nuria (ibu Mariamin), karena merasa dijodohkan dan tidak merasa cocok perasaan itu pun tak timbul dari Sutan Baringin. Justru yang dilampiaskannya, melakukan tindakan yang buruk kepada istrinya sendiri. Menganggap perempuan berpengetahuan rendah, tidak pantas mencampuri urusan suami, apalagi memberi saran/nasihat, karena perempuan hanya tahu urusan dapur.
Memberi ingat suami pun tak tiada berani lagi ia, sejak Sutan Baringin membentak dia dengan perkataan, “Diam kau; perempuan tiada patut mencampuri perkara laki-laki; dapur sajalah bagianmu!”.
Janganlah kita dengar asut-asutan serta ajaran orang, yang hendak mencelakakan kita.” Nasihat istrinya yang mulia itu tiada diterima Sutan Baringin, karena ia telah penuh oleh pikiran yang buruk. Dengan amarah ia berkata,”Betullah perempuan tiada berotak, gampang ditipu engkau ini. Lebih baik kau diam, aku lebih tahu apa yang akan aku perbuat.” (AS, 2010: 26-27)

Dalam cerita juga banyak kalimat yang mengandung patriarki, bagaimana peran perempuan benar-benar dianggap rendah dimata kaum laki-laki.

Adalah ada pada pikirannya, perempuan itu diadakan Tuhan akan sekedar penyertai laki-laki saja. Apabila laki-laki itu merasa perlu akan bersama-sama denagn perempuan, disitulah waktunya bagi dia kawin. Kawin artinya si laki mengambil perempuan, sebab ia perlu kepadanya. Oleh sebab orang itu ada gunanya bagi dai, haruslah ia menyediakan belanja unutk istrinya. Itu sajalah kewajiban si laki kepada si istri. Tetapi perempuan itu harus menyerahkan badan dan hatinya kepada suaminya. Adalah kewajiban bagi dia mengusahakan dirinya untuk kesenangan lakunya. Ia harus menaruh cinta kepada lakinya, akan tetapi tiada perlu ia mendapat balasan cinta itu. “Perempuan itu tiada menaruh jiwa, kalau ia sudah mati, habis hidupnya. Akan akhirat tiada berguna bagi dia.” Begitulah persangkaan Sutan Baringin.
(AS, 2010: 81-82)
perempuan itu lebih halus perasaannya, sedang laki-laki itu lebih keras hatinya. Umpamanya seorang perempuan tiada akan menolak akan suaminya, yang meminta ampun akan kesalahannya, meskipun bagaimana sekali besarnya dosa laki-laki itu kepada istrinya. Penanggungan perempuan yang sakit, aniaya suaminya yang bengis, dilupakannya, bila ia melihat suaminya meminta ampun dihadapannya. Akan tetapi tiada jarang seorang laki-laki memandang istri yang bersalah kepadanya, sebagai musuh besar, meskipun perempuan itu berlutut dan membasahi kaki suaminya dengan air matanya akan meminta ampun atas kesalahan yang diperbuatnya. Kerap kali laki-laki itu enerjang kepala istrinya dengan kakinya yang basah oleh air mata itu, seraya berkata dengan ata yang merah, “Nyah engkau, perempuan celaka!”. (AS, 2010: 30-31)

Namun, meskipun dikuasai oleh kultur patriarki, justru dalam novel ini terlihat bagaimana Mariamin menganggap patriarki memang benar adanya, menganggap laki-laki lebih berkuasa dibanding perempuan.
Tetapi kalau laki-laki biasa juga letih oleh pekerjaan, bagaimanakah perempuan, manusia yang lebih lemah, yang tiada mempunyai daya dan kekuatan sebagai laki-laki?”
Riam, rupanya kau memandang laki-laki itu manusia yang tinggi dari perempuan?”
Memang, sahut Mariamin dengan segera, “kalau saya laki-laki, tentu saya kuat bekerja sebagai Angkang, boleh aku pergi ke sana- ke sini pergi ke negeri orang. Lainlah halnya dengan kami perempuan. Perempuan harus tinggal di rumah, tiada boleh acap kali ke luar-luar, kalau badan sudah besar.” (AS, 2010: 33)

Mariamin pun mengalami kekerasan akibat kekuasaan suaminya. Suami pilihan ibunya yang bernama Kasibun. Diceritakan Kasibun ternyata mengidap suatu penyakit yang berbahaya, yang mudah menular jika melakukan hubungan badan. Oleh karenanya, Mariamin tidak mau melakukan hubungan badan dengan suaminya, takut kalau tertular. Jadilah, Kasibun selalu menaruh cemburu dalam hatinya, dan kadang-kadang ia berpikir yang tidak-tidak, yang membuatnya terbakar rasa cemburu yang berlebihan, sampai-sampai melakukan perbuatan yang sangat tidak pantas kepada Mariamin.
Barangkali disebabkan ia bagus dan muda, aku lebih tua dan buruk, itulah sebabnya ia tak tertarik hatinya kepadaku, dan selalu menolak kehendakku.” Maka timbullah dalam hatinya rupa-rupa pikiran yang busuk-busuk tentang Mariamin; ya, pikiran yang tak patut-patut. Maklumlah siapa yang jahat itu tentu memikirkan orang lain jahat pula sebagai dia. Perkataan dan kelakuannya pun sudah jauh berkurang kepada Mariamin, lebih-lebih setelah ia endengar, bahwa Aminu’ddin datang ke rumahnya, tatkala ia ada di kantor. Sejak itu amatlah ia mebenci Mariamin.
Perempuan yang tak boleh dipercayai,”katanya kepada Mariamin kalau hatinya panas.
Apakah sebabnya saya menerima perkataan yang serupa itu?”sahut Mariamin.
Orang lain kau terima. Suaminmu tak kauindahkan,”kata suaminya itu.
Tiadalah pernah langkahku salah. Dia itu kaum dan senegeri dengan saya; salahkah, kalau ia mengunjungi saya?
Selamanya tidakkah engkau tahu, bahwa aku lakimu? Engkau kubeli, karena itu harus menurut kehendakku!”
Pertengkaran kerap terjadi antara mereka, sehingga Kasibun yang bengis itu tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang dipukulnya, disiksanya,… Penanggungan Maiamin itu tiadalah ditambah-tambahi. Bahkan ada yang lebih dari itu, banyak lagi yang keji dan ngeri, yang tak patut diceritakan.
Semalam-malaman itu Mariamin diusir dari tempat tidur, keluar dari kamar tiada boleh, pintu sudah dikuncinya. Di atas lantai batu kamar itu tak ada tikar, sepotong pun tiada. Kalau ia menangis sehingga suaranya kedengaran, Kasibun pun menyepak atau menempelengnya serta dengan perkataan, “Tutup mulutmu, saya mau tidur!”. Kalau matanya berat dan ia malas bangkit dari tempat tidur, tongkatnya sajalah dipukulkannya kepada Mariamin, apanya yang kena tak dipedulikannya. (AS, 2010: 177-178)

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bagaimana perlakuan kasar yang dilakukan suami kepada istri, yang seharusnya tidak terjadi. Di sini, benar-benar derajat perempuan direndahkan, diperlakukan tak seperti manusia. Kekerasan ini dapat terjadi jika cemburu sudah menggelapkan mata dan hati. Bagaimana pun alasan Mariamin, Kasibun tak mau mendengar, justru ia bertambah marah dan kesal.
Perlawanan pun dilakukan oleh Mariamin, merasa tak tahan lagi akan perlakuan suaminya, Mariamin pun memutuskan melaporkan tindakan suaminya itu ke kantor polisi. Pengambilan sikap ini bisa menunjukkan sisi feminisme seorang perempuan. Demi mendapat keadilan dan tak ingin tertindas lagi, Mariamin pun mengambil keputusan yang tepat.
Ke kantor polisi, Bang,”katanya. Sais itu pun membunyikan cambuknya dan kereta yang bagus itu pun berlarilah dengan kencangnya. Di hadapan kantor polisi itu berhenti kereta itu. Mariamin turun lalu berjalan ke dalam, sedikit pun tak segan atau takut perempuan yang muda itu. Polisi yang berdiri di pintu itu terkejut melihat orang itu, akan tetapi hatinya belas melihat mukanya yang teraniaya itu. Dari pakaian Mariamin tahulah dia bahwa ariamin orang Batak, seorang bangsanya. Polisi itu embawanya ke hadapan menteri polisi. Mariamin pun menceritakan sekalian perbuatan suaminya itu. Perkara diperiksa, si laki yang ganas itu dipanggil. Selama perkara belum putus, Mariamin pun disuruh tinggal di rumah penghulu. Akan tetapi apakah hukuman yang diterima laki-laki yang bengis itu? Tiada lain daripada ia didenda dua puluh lima rupiah, dan perkawinan mereka itu diputuskan. Kesudahannya Mariamin terpaksa pulang ke negerinya membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil di pingir Sungai Sipirok itu. (AS, 2010: 179-180)

Selanjutnya terlihat betapa besar peran orang tua khususnya ayah dalam mencarikan jodoh untuk anaknya (untuk Aminu’ddin). Banyak pertimbangan yang dipikirkan ayahnya, anaknya Aminu’ddin harus memperoleh gadis yang sebaik-baiknya, harus dilihat dari latar keluarganya, kekayaan, dan marga. Marga menjadi sebuah ketentuan yang harus dipatuhi, karena dalam adat istiadat orang Batak, barang siapa yang hendak kawin, tiadalah boleh mengambil orang yang semarga dengan dia. Umpamanya laki-laki marga Siregar tiada boleh mengambil perempuan marga Siregar, meskipun mereka itu sudah jauh antaranya; artinya hanya nenek-nenek moyang mereka itu, yang hidup berates tahun dahulu, yang bersaudara. Namun anak muda marga Siregar boleh mengambil seorang perempuan marga Harahap, meskipun perkaumannya dengan anak gadis itu masih dekat, umpama senenek dengan dia. Artinya, nenek si laki dari pihak ibu, nenek si perempuan dari pihak bapak. Hanya margalah yang berlainan, sebenarnya mereka itu masih sedarah; akan tetapi sebab pengaruh adat itu perkawinan yang kedua ini dilazimkan dan perkawinan yang pertama dilarang keras.
Mariamin anak orang miskin akan menjadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut! Bukankah orang itu telah hina di ata orang, lagi pula tak berada, boleh dikatakan orang yang semiskin-miskinnya di daerah Sipirok? Orang yang begitukah yang akan jadi tunangan Aminu’ddin? O, sekali-kali tidak boleh; Aminu’ddin seorang anak muda, belum tahu ia membedakan bangsa, haruskah didengar permintaannnya itu? Betul anak gadis itu bagus rupanya, lagi masuk kaum mereka juga, akan tetapi kaum tinggal kaum, perempuan yang elok dapat dicari. (AS, 2010: 135)

Sikap Baginda di atas yang menghalangi pernikahan Aminu’ddin dengan Mariamin itu, sesunggunya bertentangan dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Batak Angkola. Sebab hubungan Aminu’ddin dengan Mariamin bukanlah hubungan cinta berahi, dan bukan pula hubungan semarga yang memang tidak dibolehkan dalam masyarakat Batak Angkola. Akan tetapi, hubungan mereka didasari oleh kedekatan keluarga. Ayah Mariamin adalah kakak dari ibunda Aminu’ddin sehingga meski Mariamin sepupu Aminu’ddin, tetapi marga mereka berbeda. Marga Aminu’ddin mengikut pada ayahnya Baginda Diatas, sedang Mariamin turut marga Sutan Baringin. Dalam adat masyarakat Batak Angkola, Aminu’ddin memanggil Mariamin Boru Tulang (anak perempuan dari saudara laki-laki pihak ibu). Sedangkan Mariamin memanggil Aminu’ddin Anak Namboru (anak laki-laki dari saudara perempuan ayah). Jika mengacu pada adat yang berlaku, orang tua Aminu’ddin tidak boleh menggagalkan hubungan anaknya dengan Mariamin. Bahkan harus menikahkan keduanya. Pernikahan semacam ini disebut perkawinan manyonduti (kembali ke pangkal keluarga). Tujuannya seperti yang dikatakan pengarang salam novel ini,
Tali perkauman bertambah kuat” (AS, 2010: 33).



KESIMPULAN
Dalam sistem perjodohan masyarakat Batak Angkola, menganut sistem seorang ayah memiliki otoritas yang besar dalam menentukan calon pendamping bagi anaknya. Sayangnya, dalam penentuan calon tersebut, seorang ayah dalam novel ini hanya melihat pada aspek material saja. Persoalan nikah paksa seperti yang dialami oleh Aminu’ddin dan Mariamin memang telah menjadi tradisi dalam masyarakat Sipirok, Jadi, pernikahan semacam ini telah berlangsung secara turun-temurun sejak kakek-nenek mereka.
Dari perkawinan paksa ini, banyak mengakibatkan efek yang tidak baik, misalnya seperti ketidakcocokan yang mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga seperti yang dialami oleh Mariamin. Dalam masyarakat Batak marga menjadi sebuah ketentuan yang harus dipatuhi, karena dalam adat istiadat orang Batak, barang siapa yang hendak kawin, tiadalah boleh mengambil orang yang semarga dengan dia. Umpamanya laki-laki marga Siregar tiada boleh mengambil perempuan marga Siregar, meskipun mereka itu sudah jauh antaranya; artinya hanya nenek-nenek moyang mereka itu, yang hidup beratus tahun dahulu, yang bersaudara.

DAFTAR PUSTAKA

Firmansyah, Erfi. 2011. Corak Perlawanan Wanita Terhadap Kultur Patriarki dalam Novel Tetratologi Pulau Buru Karya Pramoedya Ananta Toer: Suatu Telaah Feminisme Kritis. Jakarta.
Kinayati dan Noldy. 2008. Teori Apresiasi dan Pembelajaran Prosa. Jakarta: Pustaka Book Publisher.
Siregar, Merari. 2011. Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Puisi Jante Arkidam

Rekayasa Puisi Menjadi Cerpen

Analisis Fonem Bahasa Li Niha