Analisis Novel
SISTEM
PERJODOHAN BATAK SEBAGAI KULTUR PATRIARKI
DALAM
NOVEL AZAB DAN SENGSARA
MERARI
SIREGAR:
SUATU
PENDEKATAN FEMINISME
Oleh : Mega
Purnama
Abstrak
Novel Azab
dan Sengsara dianggap
sebagai tonggak lahirnya novel modern di Indonesia. Merari Siregar
menulis novel Azab
dan Sengsara berdasarkan
pengamatannya terhadap kehidupan masyarakat Sipirok, Tapanuli,
Sumatra Utara. Di sanalah Merari dilahirkan dan dibesarkan sehingga
terbiasa dengan adat mayarakatnya (masyarakat Batak). Namun, saat ia
telah memperoleh pendidikan, ia mulai kritis terhadap adat masyarakat
Sipirok, yang ia nilai tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam sistem
perjodohan masyarakat Batak Angkola, menganut sistem seorang ayah
memiliki otoritas yang besar dalam menentukan calon pendamping bagi
anaknya. Sayangnya, dalam penentuan calon tersebut, seorang ayah
dalam novel ini hanya melihat pada aspek material saja. Persoalan
nikah paksa seperti yang dialami oleh Aminu’ddin dan Mariamin
memang telah menjadi tradisi dalam masyarakat Sipirok, Jadi,
pernikahan semacam ini telah berlangsung secara turun-temurun sejak
kakek-nenek mereka.
Dalam masyarakat
Batak marga menjadi sebuah ketentuan yang harus dipatuhi, karena
dalam adat istiadat orang Batak, barang siapa yang hendak kawin,
tiadalah boleh mengambil orang yang semarga dengan dia. Umpamanya
laki-laki marga Siregar tiada boleh mengambil perempuan marga
Siregar, meskipun mereka itu sudah jauh antaranya; artinya hanya
nenek-nenek moyang mereka itu, yang hidup beratus tahun dahulu, yang
bersaudara.
PENDAHULUAN
Novel
Azab dan Sengsara
dianggap sebagai tonggak lahirnya novel modern di Indonesia. Karya
Merari ini tak lagi berbentuk hikayat, walau apabila ditinjau dari
segi ceritanya, masih mengangkat persoalan kehidupan sehari-hari
seperti dalam hikayat. Dalam novelnya ini, Merari membuat gebrakan
baru pada hikayat, yang kita ketahui selalu mengungkapkan dunia
istana, tapi kali ini Merari menampilkan unsur-unsur kritik sosial
yang tidak pernah ditampilkan dalam hikayat.
Merari Siregar
menulis novel Azab
dan Sengsara berdasarkan
pengamatannya terhadap kehidupan masyarakat Sipirok, Tapanuli,
Sumatra Utara. Di sanalah Merari dilahirkan dan dibesarkan sehingga
terbiasa dengan adat mayarakatnya (masyarakat Batak). Namun, saat ia
telah memperoleh pendidikan, ia mulai kritis terhadap adat masyarakat
Sipirok, yang ia nilai tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
Sistem perjodohan
menjadi salah satu polemik yang ingin diangkat seorang Merari.
Perjodohan ini menjadi sebuah polemik, karena dalam masyarakat Batak
Angkola yang menganut sistem, seorang ayah memiliki otoritas yang
besar dalam menentukan calon pendamping bagi anaknya. Tampak bahwa
dalam adat perjodohan ini juga mengandung kultur patriarki (sistem
sosial, dimana Bapak memegang kontrol (kendali) atas seluruh anggota
keluarga, kepemilikan barang, sumber pendapatan dan pemegang
keputusan utama).
Kita ketahui
sehubungan dengan sistem sosial ini, diyakini (dijadikan ideologi)
bahwa pria lebih superior dibanding perempuan, sehingga perempuan
sudah seharusnya dikendalikan (dikontrol) oleh pria, namun dalam
novel ini menampilkan hal menarik, bahwa sistem perjodohan yang
bercorak kultur patriarki ini juga dialami oleh tokoh pria yang
digambarkan sudah memiliki penghidupan sendiri, tidak menumpang pada
orang tua justru tak mampu melawan kehendak ayahnya. Jadi, melalui
kondisi tokoh yang demikian, pengarang bermaksud mengetengahkan
penderitaan akibat sistem perjodohan.
PENDEKATAN
FEMINISME
Dimanapun, perempuan
ternyata menarik untuk dibicarakan. Perempuan adalah
sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu pihak, perempuan adalah
keindahan.
Pesonanya dapat membuat laki-laki tergila-gila. Di sisi lain, ia
dianggap
lemah. Anehnya, kelemahan itu dijadikan alasan oleh laki-laki jahat
untuk
mengeksploitasi keindahannya. Tragisnya, di antara para filosof pun
yang beranggapan
bahwa perempuan diciptakan oleh Tuhan hanya untuk menyertai laki-laki
(Sugihastuti dan Suharto, 2002:32). Kritik sastra feminis merupakan
salah
satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas
berkembang luasnya
feminisme diberbagai penjuru dunia. Secara leksikal, Moeliono, dkk.
(dalam
Sugihastuti & Suharto 2002:6 1) menyatakan bahwa feminisme adalah
gerakan
kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
laki-laki
dan perempuan.
Yoder (dalam
Sugihastuti & Suharto, 2002:5) menyebutkan bahwa kritik sastra
feminis itu bukan berarti pengritik perempuan, atau kritik tentang
perempuan,
atau kritik tentang pengarang perempuan. Arti sederhana kritik sastra
feminis
adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran
bahwa
ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan
kehidupan
kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya
yang
juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan
pada
faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang. Kritik sastra
feminis berbeda dengan kritik-kritik yang lain, masalah kritik sastra
feminis berkembang
dari berbagai sumber. Dalam hal ini, diperlukan pandangan luas dalam
bacaan-bacaan tentang perempuan. Bantuan disiplin ilmu lain seperti
sejarah,
psikologi, dan antropologi juga diperlukan serta perlu
dipertimbangkan lagi
teori sastra yang sudah dimiliki oleh kritikus sastra.
Salah satu aspek
dari kajian feminisme adalah budaya patriarki. Budaya
patriarki yang masih kuat dalam kehidupan sosial masyarakat
menimbulkan
beragam diskriminasi terhadap perempuan. Komunitas perempuan dianggap
sebagai warga nomor dua, di bawah peran laki-laki. Karena itu,
posisi dan peran perempuan tidak dianggap signifikan, hanya sebagai
tumbal kepentingan
laki-laki. Kondisi
ini tidak jarang
mengakibatkan tindak kekerasan oleh suami terhadap istrinya justru
dilakukan sebagai bagian dari penggunaan otoritas yang diilikinya.
Kekuasaan
sistem patriarki adalah biang keladi di balik diskriminasi atau
kekerasan terhadap perempuan.
Menurut Kate Millet
(dalam Gadis Arivia, 2006:10) laki-laki telah mengontrol
dunia publik dan privat, inilah yang disebut patriarki. Pengontrolan
ini harus
dilawan agar perempuan dapat menjadi bebas. Tetapi, ini bukan
pekerjaan yang
mudah. Untuk melawan pengontrolan laki-laki, baik perempuan maupun
laki-laki harus sama-sama meniadakan ketimpangan jender, status,
peran yang telah
dikonstruksikan oleh budaya patriarki. Kekerasan terhadap perempuan
tidak dapat
lepas dari aturan sistem masyarakat patriarki. Pengaturan sistem ini
begitu mengakar
pada kepercayaan dan tradisi masyarakat yang ditumbuhkan sejak kecil.
Seperti halnya
dengan kepercayaan dan sistem perjodohan dalam masyarakat Batak, yang
digambarkan oleh Merari dalam novelnya Azab
dan Sengsara. Sistem
perjodohan ini juga dapat dikatakan sebagai bagian dari kultur
partriarki, karena dalam sistem perjodohan masyarakat Batak ini
menganut, bahwa seorang ayah memiliki otoritas yang besar dalam
menentukan calon pendamping bagi anaknya. Terlihat jika peran
laki-laki (ayah) memiliki andil yang besar dalam mengambil keputusan.
Selain membahas mengenai sistem perjodohan, Merari juga ingin
menyampaikan bahwa dari sistem perjodohan ini nantinya juga memiliki
efek yang akan dirasakan bagi si anak yang dijodohkan. Dalam novel
ini digambarkan salah satu tokohnya, Mariamin (gadis yang ditinggal
pergi kekasihnya yang dijodohkan pula) yang dijodohkan ibunya kepada
seorang lelaki yang dianggap mapan.
SISTEM
PERJODOHAN BATAK,
SEBAGAI
KULTUR PATRIARKI
Tokoh utama dalam
novel ini, Aminu’ddin dan Mariamin yang tak berdaya menentang adat
yang berlaku, meski mereka telah berpendidikan. Bahkan, Aminu’ddin
yang sudah memiliki penghidupan sendiri, tidak menumpang pada orang
tua, juga tak mampu melawan kehendak ayahnya.
“Benar perbuatan kami ini tiada
sebagai permintaan Anakanda, tetapi janganlah Anakku lupakan,
keselamatan dan kesenangan anak itulah yang dipikirkan oleh kami
orang tuamu. Oleh sebab itu, haruslah anak itu menurut kehendak orang
tuanya kalau ia hendak selamat di dunia. “Terimalah menantu
Ayahanda yang kubawa ini !”
Meskipun Aminu’ddin mula-mula
menolak perkataan itu, tetapi pada akhirnya terpaksalah ia menurut
bujukan dan paksaan orang itu semua. (AS, 2010: 151-152)
Nampak Aminu’ddin tidak dapat
menolak gadis yang sudah dipilihkan oleh orang tuanya, dengan
berbagai pertimbangan sampai ia akhirnya menerima. Dia berpikir ini
semua sudah terlanjur, tidak dapat diundur lagi. Pemikiran Aminu’ddin
juga masih dipengaruhi adatnya, yaitu bila anak gadis yang sudah
dijemput oleh ayahnya itu dikembalikan kepada orang tuanya? Hal itu
belum pernah terjadi dan bukan adat. Jelas, Aminu’ddin tidak mau
membuat malu keluarganya dan melanggar adat.
Dalam sistem perjodohan juga
muncul kultur patriarki. Dalam novel diceritakan, bahwa dahulu ibu
Mariamin juga dijodohkan oleh orang tuanya dengan Sutan Baringin
(ayah Mariamin sekarang). Dari perjodohan itu, tidak timbul rasa
cinta dari Sutan Baringin kepada Nuria (ibu Mariamin), karena merasa
dijodohkan dan tidak merasa cocok perasaan itu pun tak timbul dari
Sutan Baringin. Justru yang dilampiaskannya, melakukan tindakan yang
buruk kepada istrinya sendiri. Menganggap perempuan berpengetahuan
rendah, tidak pantas mencampuri urusan suami, apalagi memberi
saran/nasihat, karena perempuan hanya tahu urusan dapur.
Memberi ingat suami pun tak tiada
berani lagi ia, sejak Sutan Baringin membentak dia dengan perkataan,
“Diam kau; perempuan tiada patut mencampuri perkara laki-laki;
dapur sajalah bagianmu!”.
Janganlah kita dengar asut-asutan
serta ajaran orang, yang hendak mencelakakan kita.” Nasihat
istrinya yang mulia itu tiada diterima Sutan Baringin, karena ia
telah penuh oleh pikiran yang buruk. Dengan amarah ia
berkata,”Betullah perempuan tiada berotak, gampang ditipu engkau
ini. Lebih baik kau diam, aku lebih tahu apa yang akan aku perbuat.”
(AS, 2010: 26-27)
Dalam cerita juga
banyak kalimat yang mengandung patriarki, bagaimana peran perempuan
benar-benar dianggap rendah dimata kaum laki-laki.
Adalah ada pada pikirannya,
perempuan itu diadakan Tuhan akan sekedar penyertai laki-laki saja.
Apabila laki-laki itu merasa perlu akan bersama-sama denagn
perempuan, disitulah waktunya bagi dia kawin. Kawin artinya si laki
mengambil perempuan, sebab ia perlu kepadanya. Oleh sebab orang itu
ada gunanya bagi dai, haruslah ia menyediakan belanja unutk istrinya.
Itu sajalah kewajiban si laki kepada si istri. Tetapi perempuan itu
harus menyerahkan badan dan hatinya kepada suaminya. Adalah kewajiban
bagi dia mengusahakan dirinya untuk kesenangan lakunya. Ia harus
menaruh cinta kepada lakinya, akan tetapi tiada perlu ia mendapat
balasan cinta itu. “Perempuan itu tiada menaruh jiwa, kalau ia
sudah mati, habis hidupnya. Akan akhirat tiada berguna bagi dia.”
Begitulah persangkaan Sutan Baringin.
(AS, 2010: 81-82)
(AS, 2010: 81-82)
…perempuan itu lebih halus
perasaannya, sedang laki-laki itu lebih keras hatinya. Umpamanya
seorang perempuan tiada akan menolak akan suaminya, yang meminta
ampun akan kesalahannya, meskipun bagaimana sekali besarnya dosa
laki-laki itu kepada istrinya. Penanggungan perempuan yang sakit,
aniaya suaminya yang bengis, dilupakannya, bila ia melihat suaminya
meminta ampun dihadapannya. Akan tetapi tiada jarang seorang
laki-laki memandang istri yang bersalah kepadanya, sebagai musuh
besar, meskipun perempuan itu berlutut dan membasahi kaki suaminya
dengan air matanya akan meminta ampun atas kesalahan yang
diperbuatnya. Kerap kali laki-laki itu enerjang kepala istrinya
dengan kakinya yang basah oleh air mata itu, seraya berkata dengan
ata yang merah, “Nyah engkau, perempuan celaka!”. (AS, 2010:
30-31)
Namun, meskipun
dikuasai oleh kultur patriarki, justru dalam novel ini terlihat
bagaimana Mariamin menganggap patriarki memang benar adanya,
menganggap laki-laki lebih berkuasa dibanding perempuan.
“Tetapi kalau laki-laki biasa
juga letih oleh pekerjaan, bagaimanakah perempuan, manusia yang lebih
lemah, yang tiada mempunyai daya dan kekuatan sebagai laki-laki?”
“Riam, rupanya kau memandang
laki-laki itu manusia yang tinggi dari perempuan?”
“Memang, sahut Mariamin dengan
segera, “kalau saya laki-laki, tentu saya kuat bekerja sebagai
Angkang, boleh aku pergi ke sana- ke sini pergi ke negeri orang.
Lainlah halnya dengan kami perempuan. Perempuan harus tinggal di
rumah, tiada boleh acap kali ke luar-luar, kalau badan sudah besar.”
(AS, 2010: 33)
Mariamin pun
mengalami kekerasan akibat kekuasaan suaminya. Suami pilihan ibunya
yang bernama Kasibun. Diceritakan Kasibun ternyata mengidap suatu
penyakit yang berbahaya, yang mudah menular jika melakukan hubungan
badan. Oleh karenanya, Mariamin tidak mau melakukan hubungan badan
dengan suaminya, takut kalau tertular. Jadilah, Kasibun selalu
menaruh cemburu dalam hatinya, dan kadang-kadang ia berpikir yang
tidak-tidak, yang membuatnya terbakar rasa cemburu yang berlebihan,
sampai-sampai melakukan perbuatan yang sangat tidak pantas kepada
Mariamin.
“Barangkali disebabkan ia bagus
dan muda, aku lebih tua dan buruk, itulah sebabnya ia tak tertarik
hatinya kepadaku, dan selalu menolak kehendakku.” Maka timbullah
dalam hatinya rupa-rupa pikiran yang busuk-busuk tentang Mariamin;
ya, pikiran yang tak patut-patut. Maklumlah siapa yang jahat itu
tentu memikirkan orang lain jahat pula sebagai dia. Perkataan dan
kelakuannya pun sudah jauh berkurang kepada Mariamin, lebih-lebih
setelah ia endengar, bahwa Aminu’ddin datang ke rumahnya, tatkala
ia ada di kantor. Sejak itu amatlah ia mebenci Mariamin.
“Perempuan yang tak boleh
dipercayai,”katanya kepada Mariamin kalau hatinya panas.
“Apakah sebabnya saya menerima
perkataan yang serupa itu?”sahut Mariamin.
“Orang lain kau terima.
Suaminmu tak kauindahkan,”kata suaminya itu.
“Tiadalah pernah langkahku
salah. Dia itu kaum dan senegeri dengan saya; salahkah, kalau ia
mengunjungi saya?
“Selamanya tidakkah engkau
tahu, bahwa aku lakimu? Engkau kubeli, karena itu harus menurut
kehendakku!”
Pertengkaran kerap terjadi antara
mereka, sehingga Kasibun yang bengis itu tak segan menampar muka
Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang dipukulnya,
disiksanya,… Penanggungan Maiamin itu tiadalah ditambah-tambahi.
Bahkan ada yang lebih dari itu, banyak lagi yang keji dan ngeri, yang
tak patut diceritakan.
Semalam-malaman itu Mariamin
diusir dari tempat tidur, keluar dari kamar tiada boleh, pintu sudah
dikuncinya. Di atas lantai batu kamar itu tak ada tikar, sepotong pun
tiada. Kalau ia menangis sehingga suaranya kedengaran, Kasibun pun
menyepak atau menempelengnya serta dengan perkataan, “Tutup
mulutmu, saya mau tidur!”. Kalau matanya berat dan ia malas bangkit
dari tempat tidur, tongkatnya sajalah dipukulkannya kepada Mariamin,
apanya yang kena tak dipedulikannya. (AS, 2010: 177-178)
Dari kutipan di
atas, dapat dilihat bagaimana perlakuan kasar yang dilakukan suami
kepada istri, yang seharusnya tidak terjadi. Di sini, benar-benar
derajat perempuan direndahkan, diperlakukan tak seperti manusia.
Kekerasan ini dapat terjadi jika cemburu sudah menggelapkan mata dan
hati. Bagaimana pun alasan Mariamin, Kasibun tak mau mendengar,
justru ia bertambah marah dan kesal.
Perlawanan pun
dilakukan oleh Mariamin, merasa tak tahan lagi akan perlakuan
suaminya, Mariamin pun memutuskan melaporkan tindakan suaminya itu ke
kantor polisi. Pengambilan sikap ini bisa menunjukkan sisi feminisme
seorang perempuan. Demi mendapat keadilan dan tak ingin tertindas
lagi, Mariamin pun mengambil keputusan yang tepat.
“Ke kantor polisi,
Bang,”katanya. Sais itu pun membunyikan cambuknya dan kereta yang
bagus itu pun berlarilah dengan kencangnya. Di hadapan kantor polisi
itu berhenti kereta itu. Mariamin turun lalu berjalan ke dalam,
sedikit pun tak segan atau takut perempuan yang muda itu. Polisi yang
berdiri di pintu itu terkejut melihat orang itu, akan tetapi hatinya
belas melihat mukanya yang teraniaya itu. Dari pakaian Mariamin
tahulah dia bahwa ariamin orang Batak, seorang bangsanya. Polisi itu
embawanya ke hadapan menteri polisi. Mariamin pun menceritakan
sekalian perbuatan suaminya itu. Perkara diperiksa, si laki yang
ganas itu dipanggil. Selama perkara belum putus, Mariamin pun disuruh
tinggal di rumah penghulu. Akan tetapi apakah hukuman yang diterima
laki-laki yang bengis itu? Tiada lain daripada ia didenda dua puluh
lima rupiah, dan perkawinan mereka itu diputuskan. Kesudahannya
Mariamin terpaksa pulang ke negerinya membawa nama yang kurang baik,
membawa malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah
kecil di pingir Sungai Sipirok itu. (AS, 2010: 179-180)
Selanjutnya terlihat
betapa besar peran orang tua khususnya ayah dalam mencarikan jodoh
untuk anaknya (untuk Aminu’ddin). Banyak pertimbangan yang
dipikirkan ayahnya, anaknya Aminu’ddin harus memperoleh gadis yang
sebaik-baiknya, harus dilihat dari latar keluarganya, kekayaan, dan
marga. Marga menjadi sebuah ketentuan yang harus dipatuhi, karena
dalam adat istiadat orang Batak, barang siapa yang hendak kawin,
tiadalah boleh mengambil orang yang semarga dengan dia. Umpamanya
laki-laki marga Siregar tiada boleh mengambil perempuan marga
Siregar, meskipun mereka itu sudah jauh antaranya; artinya hanya
nenek-nenek moyang mereka itu, yang hidup berates tahun dahulu, yang
bersaudara. Namun anak muda marga Siregar boleh mengambil seorang
perempuan marga Harahap, meskipun perkaumannya dengan anak gadis itu
masih dekat, umpama senenek dengan dia. Artinya, nenek si laki dari
pihak ibu, nenek si perempuan dari pihak bapak. Hanya margalah yang
berlainan, sebenarnya mereka itu masih sedarah; akan tetapi sebab
pengaruh adat itu perkawinan yang kedua ini dilazimkan dan perkawinan
yang pertama dilarang keras.
Mariamin anak orang miskin akan
menjadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut!
Bukankah orang itu telah hina di ata orang, lagi pula tak berada,
boleh dikatakan orang yang semiskin-miskinnya di daerah Sipirok?
Orang yang begitukah yang akan jadi tunangan Aminu’ddin? O,
sekali-kali tidak boleh; Aminu’ddin seorang anak muda, belum tahu
ia membedakan bangsa, haruskah didengar permintaannnya itu? Betul
anak gadis itu bagus rupanya, lagi masuk kaum mereka juga, akan
tetapi kaum tinggal kaum, perempuan yang elok dapat dicari. (AS,
2010: 135)
Sikap Baginda di
atas yang menghalangi pernikahan Aminu’ddin dengan Mariamin itu,
sesunggunya bertentangan dengan adat yang berlaku dalam masyarakat
Batak Angkola. Sebab hubungan Aminu’ddin dengan Mariamin bukanlah
hubungan cinta berahi, dan bukan pula hubungan semarga yang memang
tidak dibolehkan dalam masyarakat Batak Angkola. Akan tetapi,
hubungan mereka didasari oleh kedekatan keluarga. Ayah Mariamin
adalah kakak dari ibunda Aminu’ddin sehingga meski Mariamin sepupu
Aminu’ddin, tetapi marga mereka berbeda. Marga Aminu’ddin
mengikut pada ayahnya Baginda Diatas, sedang Mariamin turut marga
Sutan Baringin. Dalam adat masyarakat Batak Angkola, Aminu’ddin
memanggil Mariamin Boru Tulang (anak perempuan dari saudara laki-laki
pihak ibu). Sedangkan Mariamin memanggil Aminu’ddin Anak Namboru
(anak laki-laki dari saudara perempuan ayah). Jika mengacu pada adat
yang berlaku, orang tua Aminu’ddin tidak boleh menggagalkan
hubungan anaknya dengan Mariamin. Bahkan harus menikahkan keduanya.
Pernikahan semacam ini disebut perkawinan manyonduti (kembali ke
pangkal keluarga). Tujuannya seperti yang dikatakan pengarang salam
novel ini,
“Tali
perkauman bertambah kuat” (AS, 2010: 33).
KESIMPULAN
Dalam sistem
perjodohan masyarakat Batak Angkola, menganut sistem seorang ayah
memiliki otoritas yang besar dalam menentukan calon pendamping bagi
anaknya. Sayangnya, dalam penentuan calon tersebut, seorang ayah
dalam novel ini hanya melihat pada aspek material saja. Persoalan
nikah paksa seperti yang dialami oleh Aminu’ddin dan Mariamin
memang telah menjadi tradisi dalam masyarakat Sipirok, Jadi,
pernikahan semacam ini telah berlangsung secara turun-temurun sejak
kakek-nenek mereka.
Dari perkawinan
paksa ini, banyak mengakibatkan efek yang tidak baik, misalnya
seperti ketidakcocokan yang mengakibatkan kekerasan dalam rumah
tangga seperti yang dialami oleh Mariamin. Dalam masyarakat Batak
marga menjadi sebuah ketentuan yang harus dipatuhi, karena dalam adat
istiadat orang Batak, barang siapa yang hendak kawin, tiadalah boleh
mengambil orang yang semarga dengan dia. Umpamanya laki-laki marga
Siregar tiada boleh mengambil perempuan marga Siregar, meskipun
mereka itu sudah jauh antaranya; artinya hanya nenek-nenek moyang
mereka itu, yang hidup beratus tahun dahulu, yang bersaudara.
DAFTAR PUSTAKA
Firmansyah, Erfi.
2011. Corak
Perlawanan Wanita Terhadap Kultur Patriarki dalam Novel Tetratologi
Pulau Buru Karya Pramoedya Ananta Toer: Suatu Telaah Feminisme
Kritis. Jakarta.
http://awan965.wordpress.com/2009/04/14/ringkasan-novel-azab-dan-sengsara/,
diunduh tanggal 23 Desember 2011
Kinayati dan Noldy.
2008. Teori
Apresiasi dan Pembelajaran Prosa. Jakarta:
Pustaka Book Publisher.
Siregar, Merari.
2011. Azab
dan Sengsara. Jakarta:
Balai Pustaka
Comments
Post a Comment