Analisis Novel


FEODALISME JAWA DAN
PEREMPUAN DALAM KUASA PATRIARKI,
NOVEL GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER 
Oleh: Mega Purnama 
Sinopsis Cerita
Gadis pantai berasal dari sebuah perkampungan nelayan di daerah pantai utara Jawa, dekat Kota Rembang. Pada usianya yang baru menginjak empat belas tahun, dia sudah dinikahkan dengan seorang priyayi Jawa, pembesar santri setempat. Gadis pantai dinikahkan hanya sebagai istri percobaan, yaitu istri percobaan sebelum priyayi tersebut mengambil istri yang “sebenarnya” yang datang dari kalangan yang sederajat. Gadis pantai bukanlah yang pertama, sudah banyak perempuan dari kalangan rendah dijadikan istri percobaan. Di rumah Bendoro (priyayi) gadis pantai diajari sholat, tata karma dan banyak hal lainnya yang terkait dengan gaya hidup para priyayi.
Dua tahun sudah keberadaan gadis pantai di rumah Bendoro. Namun, keberadaannya di sana membuat orang lain tak suka, terutama dari keluarga besar si Bendoro. Keluarga mengharapkan Bendoro agar lekas mengambil istri yang sebenarnya (yang sederajat dengannya). Sampai pada suatu ketika, seorang Bendoro dari Demak menginginkan putrinya menikah dengan Bendoro. Demi melancarkan rencananya itu, Bendoro dari Demak mengutus Mardinah (sebagai pelayan) untuk menghabisi gadis pantai, dengan imbalan Mardinah akan diangkat menjadi istri kelima. Rencana itu dilakukan saat gadis pantai pulang ke kampung halamannya di pinggir pantai, namun usaha Mardinah berhasil dicegah oleh orang kampung nelayan.
Suatu saat gadis pantai hamil dan beberapa bulan kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Tahu bahwa jenis kelamin dari anak itu perempuan, Bendoro pun kecewa, karena ia berharap gadis pantai melahirkan bayi laki-laki. Kekecewaan itu diwujudkan dengan menceraikan gadis pantai dan dipulangkannya dengan paksa si gadis pantai. Tetapi, anaknya haruslah tetap tinggal di rumah Bendoro, dengan sekuat tenaga seorang ibu, gadis pantai berusaha membawa paksa anaknya, namun tetap saja usahanya itu sia-sia. Dengan hati hancur gadis pantai meninggalkan anaknya di rumah Bendoro. Karena malu dengan keadaannya yang tak bersuami dan anaknya pun dirampas, gadis pantai memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya sendiri. Ia pamit kepada bapaknya untuk pergi ke Blora. Selama sebulan setelah kepergiannya, gadis pantai selalu mengawasi keadaan rumah si Bendoro. Namun, sebulan kemudian gadis pantai sudah tak kelihatan lagi.

KEBERADAAN FEODALISME JAWA,
DALAM NOVEL GADIS PANTAI
Feodalisme dapat diartikan sebagai suatu sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan, atau sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Pramoedya dalam novelnya ini terbilang sangatlah berani dalam memperlihatkan bagaimana kontradiksi negatif praktik feodalisme Jawa yang tidak memiliki sedikit pun adab dan jiwa kemanusiaan, dalam pengantar buku ini bahkan bertuliskan kalimat roman ini menusuk feodalisme Jawa tepat langsung di jantungnya yang paling dalam.
Nampak betapa besar keinginan seorang Pramoedya untuk memperlihatkan sistem feodal ini kepada publik dengan mengemas cerita dalam bentuk sebuah novel yang berjudul Gadis Pantai. Novel Gadis Pantai secara tersurat bercerita mengenai keadaan sosial pada tahap sejarah perkembangannya Indonesia, yang berisikan kritik terhadap sistem feodal Jawa pada saat itu (abad duapuluh). Seperti istilah yang dikemukakan Pramoedya bahwa novel Gadis Pantai merupakan kritiknya terhadap Jawanisme; “Saya sangat anti- Jawanisme” (Vltchek, Rossie.I, 2006: 72). Jawanisme sendiri merupakan istilah yang berarti adalah sebuah bentuk feodalisme Jawa yang dilandaskan pada faktor historis kebudayaan Jawa yang hegemonik, dengan sebuah bentuk kultus kepatuhan, taat, dan setia kepada atasan yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme.
Keberadaan feodalisme Jawa dalam novel ini dimunculkan dalam latar, suasana dan tokoh. Dilihat dari latar, keberadaan feodalisme ini digambarkan dengan latar abad duapuluh, berlatar rumah tinggal seorang priyayi,
yang begitu mewah dengan pagar tembok yang terlalu tinggi, terdapat sebuah pendopo dengan tiga baris tiang putih yang lebih besar dari pelukan tangan manusia, ditambah burung gereja kecil bertebangan di antara burung wallet juga ada gagak pada pohon beringin tak henti-hentinya bergaok menyeramkan, terdapat juga dalam sebuah kamar dengan ranjang besi berpentol kuningan mengkilat, kelambunya menganga berkait pada jangkar gading. (GP:2003: 16-17).

Dengan latar yang seperti itu jelas bagaimana kehidupan seorang bangsawan yang memilki kekayaan dan kekuasaan yang berpengaruh, sampai-sampai ranjang besinya pun berpentol kuningan. Selanjutnya jika dilihat dari suasana, keberadaan feodalisme ini digambarkan dengan suasana rumah priyayi yang sangat sunyi, sampai-sampai seluruh penghuninya tak boleh bicara keras, hanya boleh berbisik pelan, tapi berbeda dengan si priyayi, ia berhak berbicara semaunya. Karena jabatan dan gelar priyayinya itu ia dapat menentukan kehendaknya atas suasana dalam rumahnya.
Sst. Jangan keras-keras, “ bujang memperingatkan emak. “Di sini yang boleh terdengar hanya suara pembesar yang datang bertamu ke mari. Dan Bendoro sendiri tentu.” (GP: 2003: 19).

Sedangkan dari tokoh, keberadaan feodalisme digambarkan oleh sosok Bendoro (seorang priyayi yang menjadi suami Gadis Pantai) dan Bendoro dari Demak. Konsep priyayi di sini menjelaskan mengenai sekelompok orang (Jawa) yang mempunyai kehormatan dan dihormati dalam sebuah sistem sosial. Priyayi juga cenderung berurusan dengan masalah penataan spiritual, pengendalian emosi, kegiatan mistik, dan perenungan filosofis mengenai hakikat kehidupan.

Sosok Bendoro (priyayi) banyak memiliki relasi dalam kaitannya dengan pengaturan daerah, dengan pemberian kekuasaan yang dimilikinya saat itu, lantas ia gunakan untuk kemakmuran dirinya tanpa perduli rakyat miskin. Perlakuan tidak adilnya juga nampak saat dia mengusir si mbok (pelayan tua yang bertugas melayani dan menemani gadis pantai), hanya gara-gara mbok ikut membantu gadis pantai mencari pelaku yang mengambil dompetnya gadis pantai dengan menggugat agus-agus bendoro-bendoro muda. Memperlihatkan perbedaan perlakuan yang di dapat.
…”Kekurangan sahaya ialah…ialah…ialah karena sahaya terus berusaha bersetia pada bendoro dan melakukan yang dijadikan kewajiban sahaya, karena itu sampai-sampai berani menggugat agus-agus bendoro-bendoro muda.”
Tepat.” “Jadi kau tahu hukumannya.”
Bagi orang semacam sahay, Bendoro, sebenarnya tidak ada hukuman lagi. Hidup pun sudah hukuman.”
Syirik! Tak tahu bersyukur pada Tuhan.”
Sahaya, Bendoro.”
Pergi kau. Sekarang juga tak perlu injakan kaki di rumah ini, jangan pula di perkarangannya.”
Di ruang belakang kedua wanita itu berdiri. Dan dihadapannya telah menunggu bangsawan-bangsawan muda dengan sikap yang masih juga menantang.
Apa aku bilang?” seorang menegur.
Kaulah yang terusir.” (GP: 2003: 119-120)

Bendoro dari Demak digambarkan sebagai sosok yang licik, demi menikahkan putrinya dengan Bendoro (priyayi) ia nekat menyuruh Mardinah (pelayan) untuk menghabisi si Gadis Pantai. Sosok Bendoro dari Demak ini menggambarkan seorang pemimpin yang berkuasa, jika kenginan atau kehendaknya belum tercapai ia akan menggunakan cara apapun (sampai cara jahat). Perbincangan yang terjadi antara kedua pembesar ini pun sangatlah berbeda jika dibandingkan saat si pembesar ni berbicara dengan kalangan bawah. Hal ini menunjukkan betapa tingginya derajat pembesar itu, sampai-sampai membedakan cara berbicara mereka.

PEREMPUAN DALAM KUASA PATRIARKI
PADA NOVEL GADIS PANTAI

Perempuan dalam novel Gadis Pantai terang sekali berada dalam kuasa patriarki. Tokoh perempuan pertama dalam novel Gadis Pantai adalah gadis pantai. Gadis Pantai adalah seorang anak berusia empatbelas tahun, yang tinggal di daerah kampung nelayan Pantai eresidenan Jepara Rembang. Diusianya yang masih muda, gadis pantai sudah dipaksa dan diserahkan kepada seorang pembesar untuk dinikahkan. Batinnya menolak paksaan ini, namun apa daya ia tak mampu melawan orang tuanya terlebih bapaknya. Pada saat itu seharusnya, seorang anak yang berusia empatbelas tahun sedang bermain gembira, tertawa lepas bersama teman-temannya. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi gadis pantai. Selama menjadi istri seorang pembesar ia harus mengikuti semua peraturan yang ada, dan yang dapat dilakukannya di rumah pembesar itu hanya dua perkara, yaitu mengabdi pada Bendoro dan memerintah para sahaya dan semua orang di sini.
Sst. Jangan nagis, nak. Hari ini kau jadi istri orang kaya.” Ia terisak-isak, tersedan akhirnya melolong.
Kau mau diam, tidak?”. Tubuh kecil mungil itu meriut seperti keong ketakutan. Ia tahu bapaknya pelaut, kasar berotot parkasa. Ia tahu sering kena pukul dan tampar tangannya. (GP: 2003: 13)

Itulah sahaya, Mas Nganten, adat priyayi tinggi lain lagi. Dan ini kota, bukan kampung di tepi pantai.”
Ah, lantas apa aku mesti kerjakan di sini?”
Cuma dua, Mas nganten, tidak banyak: mengabdi pada Bendoro dan memerintah para sahaya dan semua orang yang ada di sini.” (GP: 2003: 58)

Perlakuan tidak baik banyak di dapati gadis pantai di sini. Terlebih perlakuan dari Bendoro (suaminya sendiri). Dengan tanpa berdosa dia suka meninggalkan istrinya berlama-lama, bahkan ketika istrinya hamil pun ia tak peduli. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa gadis pantai hanya melahirkan bayi perempuan, karena Bendoro mengharap lahirnya bayi laki-laki. Jika bayi perempuan ibaratnya sama saja dengan ibunya, karena perempuan seperti gadis pantai dianggap rendah. Maka dipisahkanlah antara ibu dan anak itu. Terlihat betapa kejinya sosok Bendoro, ia tega memisahkan seeorang ibu dengan bayinya yang belum lama dilahirkan. Gadis pantai juga harus patuh terhadap ketentuan yang sudah dibuat Bendoro, sampai-sampai untuk menemui ibunya sendiri yang sedang berada di dapur saja harus mendapat izin dari Bendoro.
Jadi cuma perempuan?”
Seribu ampun, Bendoro.” (GP:2003: 253)

Sebelum Bendoro memberi izin, Mas Nganten belum bisa bertemu...”(GP:2003: 28).

Tokoh perempuan kedua adalah Bujang (pelayan wanita yang sudah tua yang melayani gadis pantai). Tokoh si Bujang ini juga bernasib buruk. Walaupun ia memiliki suami yang baik, tapi ia juga mendapat perlakuan buruk dari para mandor kompeni Belanda. Bujang terus dipaksa bekerja rodi, padahal ia sedang mengandung. Sampai-sampa ditendangnya perut Bujang yang sedang mengandung. Sungguh tidak ada rasa perikemanusiaan lagi saat itu. Bujang mencoba bertahan, namun apa boleh buat, bayi yang dikandungnya tidak dapat bertahan. Patriarki juga terlihat saat Bujang bekerja pada Bendoro. Setiap menghadap Bendoro, Bujang pasti duduk jongkok bersimpuh dengan menundukkan kepala serendah-rendahnya dan berbicara pun tak boleh keras-keras dan terlalu banyak. Namun, Bujang di akhir tugasnya menunjukkan sebuah perlawanan kecil, saat ia membantu gadis pantai menemukan dompetnya yang hilang. Ia berani menggugat agis-agus bendoro muda. Walau akhirnya ia menerima resiko harus diusir dari rumah Bendoro.
Anak sahaya gugur sebelum dapat menghirup udara, mas nganten. Perut sahaya disepak mandor. Ya, apa mau dikata. Tiba-tiba datang pembesar Belanda dengan beberapa orang kompeni. Mandor menarik-narik tangan sahaya supaya kerja lagi. Tapi sahaya sudah lemas. Dia sepak perut sahaya.
Waktu sahaya bangun sudah tidak ada apa-apa. Yang ada hanya tiga orang kawan sahaya. Mereka mencoba menolong, tapi tidak bisa. Beberapa orang turun dari atas gerobak. Ketiga kawan sahata ditendangi disuruh pergi. Dan sahaya? Setiap orang pegang sahaya pada kaki kanan-kiri, juga tangan kanan-kiri. Jadi sahaya masih ingat empat orang yang datang itu. Mereka bilang satu, dua, tiga dan dilemparkan sahaya ke udara kemudian jatuh di atas geladak gerobak. Sahaya tak ingat diri lagi.”
Kemana dibawa dengan gerobak itu?”
Kemana lagi perginya orang kebanyakan, Mas Nganten? Ke penjara.” (GP: 2003: 62-63).

KESIMPULAN

Feodalisme Jawa yang diperlihatkan oleh Pramoedya sangatlah muncul dan terlihat, bagaimana suatu sistem itu dilaksanakan para petinggi dengan seenaknya. Harta, kekuasaan dan jabatan yang diberikan para kompeni Belanda kepada pribumi (yang berubah menjadi bangsawan) digunakan sebagai alat kesewenangan. Dengan apa yang dimilikinya, mereka berpikir bisa mendapatkan semuanya dengan mudah. Hal itu mereka lampiaskan terhadap kaum wanita. Seorang Bendoro dengan bebas bisa memilih gadis dari kalangan bawah untuk dijadikan istri percobaannya. Istri, sebelum Bendoro benar-benar mendapatkan istri yang sederajat. Karena merasa derajatnya tinggi, dia membuat ketentuan-ketentuan yang membuat para perempuan berada di bawah sistem patriarkinya. Semua harus tunduk padanya, semua harus hormat padanya, tidak boleh ada pembangkangan. Oleh karenanya, novel ini lebih cenderung ke arah patriarki daripada feminisme. Kalaupun ada feminisme hanyalah sedikit namun tidak berefek besar.


DAFTAR PUSTAKA


http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/, diunduh tanggal 15 Desember 2011.
Kinayati dan Noldy. 2008. Teori Apresiasi dan Pembelajaran Prosa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Puisi Jante Arkidam

Rekayasa Puisi Menjadi Cerpen

Analisis Fonem Bahasa Li Niha