Pendekatan Ekspresif Pada Novel Dunia Tanpa Warna


Oleh : Mega Purnama
 
Judul novel                  : Dunia Tanpa Warna
Pengarang                   : Mira W.
Karya Angkatan          : tahun 70-80an
Sinopsis                       :

Buku karya Mira W. ini menceritakan ketabahan, keikhlasan dan perjuangan seorang wanita dalam menjalani kehidupannya sebagai seorang isteri sekaligus ibu. Peran wanita utama dalam buku ini yaitu Nidia. Seorang wanita yang menikah di usia muda. Nidia menikah dengan Jono, seorang montir yang bekerja di sebuah bengkel mobil. Dalam novel ini permasalahan awal sudah timbul dari awal cerita, bahwa Nidia tidak bisa mempunyai anak dari rahimnya sendiri, karena suami Nidia dinyatakan oleh dokter bahwa airmaninya kosong tidak mengandung sperma. Hal ini membuat Jono sangat merasa bersalah dan tak berguna bagi Nidia. Dokter memberikan dua pilihan kepada Nidia, apakah ingin melakukan inseminasi (rahimnya dititipi benih pria lain) atau adopsi. Dengan tekad yang bulat Nidia memilih adopsi anak. Lalu selepas dari peristiwa ini mulai bermunculanlah berbagai permasalahan. Bayi pertama yang mereka inginkan untuk diadopsi, telah diambil pasangan lain. Bayi kedua, hampir menyeret mereka ke pengadilan, karena ibu kandung bayi itu kembali menggugat anaknya. Bayi yang ketiga, tak pernah mengharapkan apa-apa, karena sejak lahir dia telah ditakdirkan hidup tersisih dalam dunianya yang gelap, dunia tanpa warna.

Pendekatan Rumusan Abrams yang digunakan :
Menurut saya setelah membaca novel Dunia Tanpa Warna karya Mira W., pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan ekspresif. Saya berpendapat seperti ini dikarenakan sangatlah terlihat dari isi dan permasalahan yang ada pada novel. Dalam novelnya pengarang mengungkapkan suatu pengalaman, pikiran, dan perasaan yang terjadi di masyarakat. Misalnya, pada kutipan novel halaman 12 terlihat saat dokter menyatakan bahwa airmani Jono kosong tidak mengandung sperma, dan dokter mengajukan dua pilihan kepada Nidia, antara melakukan inseminasi atau adopsi. Nidia memilih adopsi, karena dia tidak mau rahimnya dititipi benih pria lain. Secara tegas dan mantap Nidia mengatakannya, “Saya tidak mau punya anak dari benuh lelaki lain!”, meskipun Jono tetap membujuk Nidia untuk melakukan inseminasi namun Nidia tetap pada pilihannya. “Jika Tuhan mengizinkan saya mengandung seorang anak, saya ingin kamulah ayahnya, mas”. “Bukan orang lain”. Mengapa kita tidak mengadopsi anak orang lain saja, mas?” Masih banyak bayi terlantar yang membutuhkan kasih sayang kita!”. Terlihat dari kutipan dialog Nidia, bahwa pengarang menginginkan sesuatu yang berbeda dari kenyataan di masyarakat kini. Biasanya kaum wanita terlalu plin-plan dalam mengambil sikap, hal ini diprotes pengarang lalu diangankanlah suatu “realitas” baru sebagai realitas objektif. Di saat kesedihannya ini, Nidia masih bisa memikirkan nasib orang lain yaitu bayi-bayi yang terlantar yang membutuhkan kasih sayang.
Pengarang berusaha mendobrak realitas yang menurut pengarang tidak memuaskan atau penuh ketidakadilan. Hal ini digambarkan pada sosok Mutia, anak panti asuhan berusia sebelas bulan. Disini Mutia seperti diabaikan, boks sempit di sudut ruang adalah tempatnya tidur, makan, sampai buang air. Para pengurus panti malas mengganti celana Mutia sehingga jamur menghinggapi kulitnya karena kelembaban yang tinggi dan kebersihan yang kurang. Begitu banyak diantara calon orangtua angkat yang lewat begitu saja di depan boksnya. Beberapa memang merasa kasihan, tetapi tak ada seorang pun yang mau mengambilnya, dan berpaling memilih bayi yang terbaik diantara mereka. Penggambaran pengarang sangat mengetuk pembacanya agar tidaklah selalu berpandangan minus pada anak yang kekurangan. Karena dibalik itu semua pasti Tuhan mempunyai rencana lain. Mungkin pengarang merasa sangat prihatin dan merasa terdapat ketidakadilan pada orang-orang yang seperti Mutia di kehidupan masyarakat, maka dibuatlah sosok Mutia. Yang dengan keterbatasannya dia tetap bahagia, apalagi setelah Nidia memutuskan untuk mengadopsinya. Keputusan yang diambil Nidia juga merupakan keputusan yang sangat diinginkan penulis dalam kehidupan masyarakat, maka dibuatlah akhir seperti itu. Oleh karena itu peran pengarang disini sangatlah berpengaruh. Terlebih bisa dilihat juga dari sejarah pribadi pengarang yang sangat terkenal dengan fiksi romantik yang menjadi ciri novelnya.
Jadi, pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang tepat. Karena pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi pengarang. Dalam pengertian karya sastra ini menyiratkan ciri khas pengarang bahkan lewat karya sastra tersebut pembaca seolah-olah terseret ke dalam sosio-kultural pengarang. Pendekatan ini juga merupakan hasil pengungkapan pengarang tentang pengalaman, pikiran dan perasaan. Dalam proses penciptaannya pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (berupa peristiwa, norma, pandangan hidup)yang ada di masyarakat. Bila seorang pengarang merasa tidak puas dengan kenyataannya, mungkin saja pengarang menjadi gelisah yang kemudian dengan caranya sendiri memprotes, memberontak, bahkan mendobrak realitas yang menurut pengarang tidak memuaskan atau tidak adil. Lalu mulailah pengarang mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti ketidakpuasan pengarang. Dengan pendekatan ini pengarang juga ingin berpesan kepada pihak lain tentang suatu yang dianggap sebagai masalah atau persoalan manusia, yang tujuan akhirnya hanya menyuguhkan keindahan yang dapat memberikan hiburan atau rasa bahagia kepada penikmatnya.

Comments

  1. Astaga gw sedang berkunjung di blog teman sekelas gw dan gw baru sadar Hahaha Megong

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Analisis Puisi Jante Arkidam

Rekayasa Puisi Menjadi Cerpen

Analisis Fonem Bahasa Li Niha