Kisah-kasih Pohon Cendana
Buat Ning
Karya: Sapardi Djoko Damono
Pasti datangkah semua yang ditunggu
Detik-detik berjajar pada mistar yang
panjang
Barangkali tanpa salam terlebih dahulu
Januari mengeras di tembok itu juga
Lalu Desember..
Musim pun masak sebelum menyala
cakrawala
Tiba-tiba kita bergegas pada jemputan
itu
Berikut Hasil Rekayasa Puisi Menjadi Cerpen
Kisah- Kasih
Pohon Cendana
Oleh: Mega Purnama
“Hujan....hujan...hai kawan-kawan
hujan datang, mari kita bermain air”, seru dedaunan bersorak bergembira. Bulan
Oktober ini memang sudah masuk musim penghujan. Berbagai macam tumbuhan sangat
menantikan saat-saat ini. “Bu Moris....!”, teriak salah satu daun dari arah
atas. “Bu Moris...sebentar lagi kau akan memiliki anak daun pada rantingmu, dia
sudah tampak terlihat”, kata Dizi. “Iah benar kau, mereka sudah mulai tumbuh,
coba kau tengok Bu Glory dia juga akan memiliki anak”, seru Bu Moris.
“Wah..bakal ramai nih, semakin banyak saja penghuninya, ya nggak pak Doli,”seru
Dizi pada pak Doli. “Hahaha...setiap penghujan memang selalu ada yang baru
Dizi, aku pun juga turut senang”, ucap pak Doli si batang pohon.
Suara riuh gembira terdengar dari
pohon cendana itu. Sebuah pohon yang terletak di pinggir taman kota.
“Dizi...kau tampak terlihat cantik dengan warna hijau muda mu”, puji Boris.
“Kau memujiku?seorang Boris memujiku?wah...terimakasih”, ucap Dizi senang.
“Memang kenapa jika aku memujimu?apa karena aku anak dari buah cendana yang
terkenal itu?. “Emmhh...kurang lebih begitu”. “Hayolah Dizi, itu kan ibuku yang
terkenal, bukan aku.., tak ada apa-apanya aku dibandingkan ibuku”.
“Maaf...Boris...aku hanya...”. Belum usai Dizi berbicara tiba-tiba Popo sudah
menyambar. “hanya...malu padamu karena aku suka padamu...haha”, ejek Popo.
“Bicara apa kau Popo, awas kau yah”. Dizi kesal pada Popo karena telah dibuat
malu. Raut mukanya tampak merah, dan Boris hanya tersenyum melihat tingkahnya.
***
Kabar gembira datang dari ibu Moris
dan bu Glory. Saat ini mereka sudah mempunyai anak daun. Ibu Moris mendapat
anak laki-laki yang tampan, dia memberinya nama Banyu. Sedangkan Bu Glory
mendapat anak perempuan yang cantik, yang diberi nama Klening. Kabar gembira
ini sudah tersebar ke semua anggota pohon cendana. Mulai dari ranting, batang,
bunga, buah, sampai pada akar. Semuanya tampak senang dengan kehadiran Klening
dan Banyu.
***
Dengan asuhan dari orangtua mereka,
kini Klening dan Banyu tumbuh menjadi gadis dan pria remaja. Keduanya sangat
akrab, saat pagi menjelang, mereka pasti bermain bersama sampai matahari
terbenam. “Banyu...hari ini kita mau main apa?tanya Klening. “Main tebak suara
yuk...,ujar Banyu semangat. “Oke...siapa yang paling cepat menjawab, dia yang
mendapat nilai yah”. “Sip..”. Tak lama terdengarlah
suara...cuit...cuit...cit..cit. Keduanya pun berusaha menebak suara apa itu. “Aku...tau...ini
suara burung”. Jawaban Klening benar, suara tadi adalah suara burung yang
sedang melintasi pohon cendana. “Ah...curang kamu”. “Kok curang sih?”. “Iah
tadi kamu sudah lihat burungnya kan ning?”. “Enak saja, jelas belum lah,kan
tertutupi bibi Dizi”. “Ok...oke, potong Banyu”. Keduanya pun melanjutkan
permainan, sampai pada suara kedua... ngiung...ngiung..ngiung. Dengan cepat
Banyu menebaknya..”Ah...sudah pasti itu suara terompet”. “Hahaha...”,tawa
Klening. “Kenapa tertawa?”. “Jelas aku tertawa, kamu salah Banyu, itu suara
mobil ambulan, coba kau perhatikan baik-baik”. “Oh...sekarang bunyi mobil
ambulan mirip seperti terompet yah,haha’. Keduanya tertawa terbahak-bahak.
Tapi tiba-tiba saja dari kejauhan
terlihat anak-anak muda sedang menuju pohon cendana dengan membawa spidol
ditangannya. “Hai...semua,...ada manusia datang, hati-hati kalian semua,” ucap
Boris kencang. Mereka semua terlihat takut, begitu juga dengan Klening dan
Banyu, mereka juga berhenti bermain dan terdiam. “Wah...pohon bagus...ayo kita
foto-foto, ucap manusia”. Usai berfoto tiba-tiba mereka, “Ayo kita tulis nama
kita di pohon ini, sebagai kenang-kenangan bahwa kita pernah kesini”.”Oke”.
Tampak pucat muka Pak Doli saat itu. Namun akhirnya dia pasrah. Badanya di
nodai dengan tinta spidol berwarna-warni dengan tulisan-tulisan. Sedih hati pak
Doli, namun ia tak bisa berbuat apa-apa. “Hai...manusia...jangan kau lakukan
itu, kasihan pak Doli, ujar Banyu mencoba menghentikan ulah manusia itu. Namun
sia-sia saja usaha Banyu, tubuh pak Doli tetap saja ditulisi. “Wah...bagus
nih,kita foto sekali lagi yah”. “Sudah yuk kita pulang”, ujar manusia pergi
meninggalkan pohon cendana.
Semua terdiam, tak ada yang berucap.
Tak tega dengan perlakuan yang di dapat pak Doli. Klening dari jauh mencoba
berbicara perlahan pada pak Doli. “Pak Doli ku, jangan bersedih yah..kalo pak
Doli sedih nanti semua akan layu, karna ikut bersedih juga”. “Memang takdir
kita seperti ini pak Doli, bukannya Klening sok tahu, tapi Klening hanya mau
mengingatkan”. ”Apapun perlakuan manusia atau seberapa jahatnya mereka pada
kita, tapi kita harus tetap berbuat baik padanya, selalu memberi udara segar
yang ia perlukan”. Karna memang takdir kita adalah menerima, dan memberi apa
yang kita punya”. “Pak Doli pasti kuat,
buktinya pak Doli selalu tegar dan kuat menopang kami semua selama beberapa
tahun”. “Kita berdoa saja supaya nanti ada manusia baik yang mau membersihkan
noda itu pak, ujar Klening polos. Mendengar Klening pak Doli pun tersenyum.
“Kamu pintar Klening, kau juga anak baik, terimakasih yah nak, pak Doli janji
tak akan bersedih lagi”. “Benar yah pak?”. “Iah Klening”.
Hari-hari berlalu begitu saja. Musim
hujan pun berganti musim panas. Popo mulai berisik dengan ocehannya. Ia
bernyanyi-nyanyi sepanjang hari. Atau bercerita tentang masaknya buah Bu Glory.
Musim ini bunga-bunga bermekaran. Menambah cantik pohon cendana ini. Walaupun
sendiri, namun keindahannya bisa mengalahi gedung-gedung pencakar langit.
Sampai suatu saat datanglah seorang ibu dan anak manusia. “Ibu...kenapa ada coretan
di pohonnya?”, tanya anak manusia. “Itu akibat dari kurang sadarnya manusia
akan lingkungan, mangkanya kamu nggak boleh menirunya ya?”. “Iah ibu, ibu..aku
suka pohon ini, apa namanya bu?”. “Pohon cendana namanya, kau tahu?pohon ini
mempunyai manfaat”. “Apa itu bu?”. “sejak jaman dulu orang sudah tahu kalau
pohon cendana ini memiliki aromanya yg khas, selain itu kayunya juga bisa
dimanfaatkan sebagai rempah-rempah, bahan dupa, aromaterapi, ataupun parfum”.
‘Wah..pantas aku mencium bau wangi bu”. “Aku mau bantu siram yah bu”. “Iah
nak”.
Melihat ibu dan anak manusia ini,
keluarga pohon cendana merasa sangat senang, karena masih ada manusia yang baik
terhadap tumbuhan. Dengan air yang diberikan anak itu, semua keluarga pohon
cendana merasa lebih segar. Mereka semua senang dan melanjutkan aktifitas
masing-masing.
Keakraban Banyu dan Klening semakin
terlihat. Kini keduanya sudah beranjak dewasa. Dengan warna hijau tua
ditubuhnya menandakan mereka sudah tumbuh dewasa. Karena kebersamaan mereka
yang sudah lama membuat mereka menjadi lebih saling mengenal satu sama lain dan
peduli. Sampai Banyu mengatakan sesuatu pada Klening. “Ning...aku mau bicara”.
“Iah Banyu”. “Maaf yah aku ngomong nya agak pelan-pelan, karena takut
membangunkan yang lain”.”Begini ning, aku mau jujur sama kamu, kalau aku sayang
sama kamu”. “Aku merasa nyaman bersamamu, kau selalu menerimaku bagaimanapun
keadaan ku, kau juga gadis yang baik, dan kesederhanaanmu sudah memikatku”.
“Aku tahu ini konyol, tapi aku harus mengatakannya padamu, Ning”. Mendengar
Banyu, Klening tersipu malu, raut mukanya memerah. “Banyu, apakah kau serius?”.
“Apakah aku terlihat tak serius? percayalah ning”. “Aku percaya banyu, kau juga
baik, kau hebat, kau juga pintar bersikap, ramah, dan selalu membuat ku
tersenyum”. “Tahukah kamu Banyu? Aku juga menyayangimu, setiap malam aku berdoa
agar bisa melihatmu di pagi hari”. “Benarkah Ning?”.”Aku senang mendengarnya,
terimakasih Ning”.
Percintaan mereka tumbuh merekah,
seperti bunga yang indah. Hari-hari mereka lalui bersama. Walaupun kini Klening
sudah tak secantik dulu tapi Banyu tetap setia menemaninya. “Banyu...tubuh ku
sudah menguning, entah kapan akan berubah coklat, aku takut”. “Tenang ning, kau
pasti baik-baik saja, ucap Banyu. “Aku tak sekuat dulu banyu”. “Tapi buktinya
kau masih kuat sekarang menemaniku”. “Entahlah Banyu”. “Banyu, jika kau bisa
dilahirkan kembali, apa yang akan kau lakukan?”. “Aku akan selalu menemanimu
dimanapun kau Klening, kau sendiri?”. “Jika aku diberi kesempatan itu, aku
ingin menjadi pupuk saja Banyu”.”Kenapa pupuk?”. “Aku mau berbagi diriku untuk
kebaikan semua tumbuhan, aku ingin bermanfaat”. “Kenapa tak menjadi manusia
ning?”. “Tidak banyu, aku tak sanggup, aku takut aku tak bisa berlaku adil, aku
takut dengan kesibukanku aku akan lupa dengan semuanya”. “Ya...kau benar ning,
kau memang yang terbaik”.
***
Rupanya takdir tak mengijinkan Banyu
dan Klening hidup bersama selamanya. “Ning...Klening...kamu harus kuat”,teriak
Banyu khawatir. “Banyu...ini sudah waktunya”. ‘Kau bisa lihat, badanku sudah
coklat, rapuh, sekali tertiup angin aku akan terjatuh, ini sudah takdir kita
Banyu, sudah saatnya aku digantikan generasi yang baru”. “Ning, aku tak bisa
sendiri”. “Kau harus bisa Banyu, lanjutkanlah hidupmu dan berikan yang terbaik
untuk manusia dan tetaplah bermanfaat”. “Berjanjilah Banyu, untukku..”. “Ning...aku
akan selalu menyayangimu”.”Ia Banyu, begitupun aku, terimakasih Banyu atas
kebersamaan kita, jagalah pohon cendana ini dengan baik, agar Pak Doli tak
sendiri”. Semakin lama semakin lemas badan Klening. Angin pun datang,
menghempaskan Klening. “Klening....!!!!”teriak Banyu”. Klening pun jatuh, dan
pergi meninggalkan Banyu dan keluarga pohon cendana.
***
Kepergian Klening membuat Banyu merasa
sepi. Tak ada lagi kekasih hati. Canda, tawa Klening tak terdengar lagi. Demi
janjinya pada Klening, Banyu melanjutkan hidupnya dengan semangat. Sampai tiba
saat Banyu tutup usia. “Ning, sudah kulakukan semuanya, hanya buat mu ning”.
Comments
Post a Comment