Rekayasa Puisi Menjadi Cerpen


Pada Suatu Hari Nanti
Karya: Sapardi Djoko Damono

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap ku siasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun disela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari


 Hasil Rekayasa....


Nina ku Sayang
Oleh: Mega Purnama

Gedung pos yang sudah menua itu adalah saksi dari awal sebuah pertemuan. Tepat empat tahun silam bertemulah sepasang muda-mudi Odi dan Nina. Dengan memutar memori masa lalu, mereka nampak asik bernostalgia sambil mengelilingi gedung itu. “Na, inget nggak waktu itu kamu nabrak tembok gara-gara sibuk sama surat bawaanmu? lalu kamu langsung yang pura-pura gitu mengambil handphone dan berlagak mengangkat telepon?, haduh na akting kamu tuh top banget deh, walau sebenarnya aku tau tuh pasti kamu malu banget sama aku kan?langsung salting begitu deh”, goda Odi senang. “Au ah kamu mah, abis mau gimana lagi coba? itu udah reflek aku, lagi temboknya ngalangin jalan”,jawab Nina sekenanya. “Hahahaha.....alasan aja kamu na”. Keduanya semakin asik dengan nostalgianya. Namun tak terasa hari sudah menjelang malam. Mereka pun pulang dan beristirahat dirumah masing-masing.
***
Entah mengapa wajah Nina malam ini nampak sendu. Dilihatlah wajahnya dalam cermin. “Menyedihkan...”, ucap Nina lemas. “Apa benar kabar burung itu? bahwa Odi akan studi ke negeri orang? lalu hubungan kita?”, terdiam Nina sejenak. “Kalau kabar itu benar, betapa sedihnya aku, baru saja kita bernostalgia dan bersenang-senang, kini aku harus merelakannya jauh dari ku”. Meneteslah air mata Nina membasahi pipinya yang halus. Nina beralih dari cermin menuju kasurnya, dihempaskanlah tubuhnya diatas kasur lalu ditutupi wajahnya dengan bantal. Namun isak tangisnya masih saja terdengar. Letih menguras air matanya, Nina pun terlelap dalam tidurnya. Berbeda dengan Nina yang sudah terlelap tidur, justru Odi malam ini sulit sekali untuk tidur. “Apakah aku kejam terhadap Nina? “ya...aku memang jahat. “bodoh..!”, teriak Odi kesal. ”Bagaimana bisa aku mengatakan hal ini besok pada Nina, sedangkan baru saja aku membuatnya bahagia”. “Na, aku harus pergi studi ke negeri Belanda, aku akan tinggal bersama pamanku disana. “Untuk kepulangan, aku belum tahu akan berapa lama aku disana”. “Hah.. bisa saja Nina langsung mengambil pisau lalu menikamku atau dia akan melempar kepalaku dengan sepatu tingginya itu, bisa mati aku kalau begitu”. “Atau malah Nina akan berlari meninggalkanku lalu ia akan melompat dari atas jembatan dan jatuh ke sungai, alamak...rumit benar rasanya”. “Tapi apapun pendapat Nina aku memang tetap akan pergi, lagi pula jika Nina benar-benar mencintaiku dengan setulus hati ia pasti akan mengijinkanku pergi dan menungguku sampai pulang”, harap Odi dalam hati. Berlembar-lembar kertas sudah ia sobek dari bukunya, karena Odi merasa belum menemukan kata-kata yang indah untuk menyampaikan hal ini pada Nina. Setelah jam menunjukkan pukul tiga pagi, Odi pun baru menemukan kata-kata yang tepat. Karena sangat letih Odi pun tertidur.
***
Saat kau ingat aku ku ingat kau, saat kau rindu aku juga rasa, ku tahu kau slalu ingin denganku, kulakukan yang terbaik yang bisa kulakan, Tuhan yang tahu ku cinta kau (terdengar suara dering dari handphone Nina). “Mba Nina.. hp nya bunyi nih, telpon dari mas Odi mba...,”teriak bi asri. “Iah mba sri biar aja”. Tiga kali sudah Odi mencoba menghubungi Nina, namun tak ada jawaban sampai yang kelima kali barulah telponnya dijawab. “Iah ada apa,di?”. “Kamu kok lama sayang angkat telponnya?”. “Oya...tadi lagi di kamar mandi, jadi nggak kedengeran deh”, sahut Nina. “Oyauda na, hari ini kamu ada acara nggak na?kalo nggak ada aku mau ajak kamu keluar sambil ada yang ingin aku bicarakan”. Kontan saja Nina semakin berdebar, apakah Odi akan mengatakan hal itu. “Na...nina.. kamu dengar aku kan?”. “Ah iah...maaf aku dengar kok”, jawab Nina tergaket dari lamunannya. “Yaudah nanti kamu jemput aku jam tiga sore aja di”.  “Ok na...”. Setelah telpon ditutup, Nina pun kembali terlihat sedih. Dia bingung akan bicara apa nanti pada Odi. Setelah berpikir panjang, Nina mengambil keputusan untuk membiarkan Odi studi. “Toh...aku dan Odi masih bisa berkomunikasi kok kenapa musti repot”. “Kalau udah terasa kangen banget mungkin aku bakalan minta bantuan Winda buat menghibur ku mati-matian, pokoknya harus banyak-banyak have fun deh”.
***
Duduk diatas motor, keduanya terlihat diam selama perjalanan. Sesekali Odi melirik ke arah spion untuk melihat wajah Nina. Sadar dirinya diperhatikan Nina segera membuang wajahnya dan kembali menikmati suasana di sepanjang jalan. “Na...kamu lagi sakit gigi yah?kok kamu diem aja sih na...”, ucap Odi mencoba membuka pembicaraan. “Nggak kok, lagi seneng aja liatin orang-orang di jalan”. “Emang kenapa na?”, tanya Odi. “Iah...seneng aja liat anak-anak muda boncengan naik sepeda sambil ketawa-ketawa bahagia, liat kakek dan nenek jalan berdua bergandengan tangan, liat senyum polos anak kecil yang seneng banget waktu dikasih balon sama ibunya. Mendengar perkataan Nina, Odi semakin merasa tak tega untuk mengatakan kepergiannya. “Iah sayang...kamu mau aku beliin balon? atau es krim na?”, ujar Odi sedikit bercanda untuk menutupi kesedihannya. “Yeah..aku bukan bocah tau, bunga bank baru aku mau”. “Dih dasar emak-emak duit mulu”. Terlihat suasana menjadi lebih hangat dan tak terasa mereka tiba di tempat tujuan. “Kamu mau makan nggak na? kalau mau pesan aja yah”. “Ok, jawab Nina”. Setelah panjang lebar mereka berbincang tibalah saat untuk Odi mengatakan maksudnya. Tiba-tiba seperti ada lem di bibir Odi hingga dia merasa sulit untuk membuka mulutnya. Semua konsep yang sudah disiapkannya semalam suntuk, buyarlah sudah. “Na...”. “Iah di kenapa?”. “Aku mau bicara sesuatu, tolong di dengarkan dulu yah na jangan di potong”. “Baiklah di”. “Na...aku ingin melanjutkan studi, dan negeri Belanda pilihanku. Memang ini terlihat sangat tiba-tiba, tapi sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakannya, hanya saja aku selalu tak bisa untuk mengatakannya terlebih melihat wajahmu yang selalu tersenyum bahagia. Tak tega aku merusak kebahagiaanmu na, namun aku sadar kini pun aku tetap merusak kebahagiaanmu. Saat mendengar tutur mu diatas motor tadi, aku semakin merasa bersalah na, aku seakan merenggut kebahagiaan yang kamu inginkan. Tapi na, aku tak pernah berniat untuk menyudahi hubungan kita, tak ada sedikit pun na. Aku hanya butuh dukungan dan kepercayaan darimu na untuk menjalani ini semua. Bisakah aku meminta ini darimu ?”. “Di, sebenarnya pun aku sudah tahu kabar ini dari seseorang dan memang aku sempat sedih mendengarnya”. “Tapi setelah aku berpikir jauh, memang tak pantas rasanya jika aku melarang mu untuk pergi”. “Niat mu baik, ingin studi kesana dan salah jika aku melarangmu. Jadi sudah kuputuskan di, untuk mengijinkanmu pergi kesana. Untuk hubungan kita, aku akan coba menjalaninya. “Terimakasih yah na, kau sungguh Nina ku yang aku sayang, peluk Odi hangat.
Mereka menjadi lebih tenang saat ini, karena tak ada lagi beban di hati yang membuat resah. Setelah keterbukaan dari keduanya, hal ini membuat hubungan mereka menjadi semakin erat. Dengan kepercayaan dari satu sama lain membuat mereka bisa bertahan selama empat tahun ini. Memang tak jarang pertengkaran kecil hadir dalam kisah mereka, namun selalu Odi lah yang mengalah. Karena Odi sangat mengerti bagaimana Nina. Sampai pada suatu masalah besar datang menghampiri mereka. “Hallo di, kamu dimana?kok pesan ku kemarin nggak di balas?”. Emmh...maaf na aku lagi ada banyak tugas dan benar-benar tak sempat rasanya,mohon mengerti yah na”, kata Odi lembut. “Oooo...yasudah kalau begitu, jika sudah selesai kabari aku. “Baik na”. Nina pun menutup telponnya dengan agak kesal. “Tumben banget sih, biasanya juga kalo sibuk nggak sampai sebegininya..tau lah ah”, gerutu Nina kesal.
Akhir-akhir ini memang tugas kuliah Odi tengah menumpuk. Satu dosen saja sampai-sampai memberikan lima tugas kuliah. Jadi Odi benar-benar kewalahan. Tapi Nina malah merasa curiga terhadap Odi, karena ia merasa Odi tak pernah seperti ini. Pikiran jelek pun menghampiri Nina. “Apa Odi.....”, “ah...nggak...nggak...”. “Mana mungkin Odi sudah berani selingkuh, awas saja nanti kalau benar ia selingkuh akan aku cabuti semua bulu kaki nya,kalau perlu bulu ketek nya juga, terus aku masukin dia ke karung dan aku buang jauh-jauh ke laut”, pikir Nina kesal. Tak lama terdengar dering dari handphone Nina. “Hallo...”.”Iah ini saya Nina,maaf ini siapa ya?”. “Maaf sebelumnya, saya Fanya, saya teman kuliah Odi di Belanda”. “Oh begitu rupanya, ada perlu apa dengan saya?tanya Nina heran”. “Nggak ko na, cuma mau kenal sama kamu aja, habis aku juga disini lagi bete dan kebetulan kemarin Odi ngasih tau nomor mu jadi aku coba telpon deh, nggak apa-apa kan na?.”Oh ya nggak apa-apa kok. Keduanya menjadi semakin akrab, tanpa sepengetahuan Odi hubungan pertemanan Nina dan Fanya pun semakin erat.
***
“Di.., Nina pacarmu ego nya besar sekali yah, dia juga cemburuan banget tuh kayaknya sama kamu di”, sindir Fanya. “Dih...sok tau banget loe Fan..kenal juga nggak loe”. Yah di..mangkanya jangan tugas mulu yang loe pikirin, sekarang gue dah akrab banget malah sama Nina”. Seriusan loe?”, tanya Odi heran. “Iyah lagi kenapa sih loe?”. “Ah nggak apa-apa”. Odi semakin tak tenang dengan pertemanan yang telah terjalin antara Nina dengan Fanya. Karena Odi sangat mengenal bagaimana perilaku Fanya. Dengan segera Odi menelpon Nina. “Hallo na, kamu lagi apa?”. “Eh kamu tumben telpon, tadi abis telpon-telponan sama Fanya”. “Fanya?kamu sering telpon-telponan sama Fanya?”. “Iah,emang kenapa?salah?nggak boleh?yaudahlah di,toh kamu juga kan lagi sibuk masa aku nggak boleh seneng dikit sih, kan lumayan kalau ada Fanya aku jadi terhibur”. “Yaudah sayang, kamu jangan marah yah, aku Cuma khawatir aja”. “Khawatir kenapa emang?”. “Khawatir sama kamu, yasudah kamu istirahat yah, disana juga pasti sudah malam”. “Iah di, nite”. “Nite Nina”.
Pikiran buruk Odi terhadap sikap Fanya pun terjadi. Nina semakin cemburu terhadap Odi. Selalu saja mereka bertengkar, bahkan hanya karena masalah sepele. “Udahlah di...kalau kamu emang udah nggak tahan sama sikap aku yaudah kamu tinggalin aja aku dan jangan ingat-ingat aku lagi”. “Na, kenapa kamu jadi seperti ini sih, aku udah duga dari awal kalau akhirnya bakal menjadi seperti ini”. “Kenapa emang?”. “Ini semua karena kamu terlalu dekat dan percaya sama semua omongan Fanya na”. “Odi...nggak usah deh sekarang kamu nyalahin Fanya, dia itu nggak tau apa-apa, jangan malah kamu tumbalin dia di”. “Terserah kamu deh Na, aku benar-benar nggak tahu sama yang namanya Katty, Stevani, Brenda, Poniman kek, Tukiyem kek, Sarmilah kek, aku bener-bener nggak kenal”. “Kamu nggak usah cemburu sama aku, toh aku benar-benar serius belajar disini, aku disini juga buat kamu Nina”. “Aku ingin mendapat hasil terbaik, lalu aku bisa bekerja dan setelah tabungan ku siap aku pun akan segera melamar mu dan menikahi mu Nina”. Mendengar kata-kata terakhir Odi Nina pun tersentak kaget. “Melamarku?kamu?”. “Iah Nina, ini semua untuk mu, tak ada yang lain”. Nina pun terdiam dan lekas menutup telepon nya. Penuh rasanya otak Nina, dia bingung akan semua yang terjadi padanya. Manakah yang benar, Fanya atau Odi?kedua-duanya sangatlah meyakinkan.
***
Nina aku sudah ada di Indonesia sekarang. Bisakah kita bertemu?aku ingin sekali main kerumah mu Na, pesan sms dari Fanya untuk Nina. Fanya ada di Indonesia?Nina pun sangat kaget, kenapa dia tiba-tiba ada disini bukannya seharusnya dia ikut ujian akhir seperti Odi dan yang lainnya. Semakin bingung Nina oleh tingkah Fanya. Mereka berdua pun bertemu di sebuah persimpangan jalan dan Nina mengajak Fanya untuk mampir ke rumahnya. “Wah..rumahmu sederhana sekali Nina”, seru Fanya. “Ah ia Fan memang begini adanya”. “Nina boleh aku bermalam dirumahmu? tadi aku mendapat pesan dari ibuku bahwa dia sedang tak ada di rumah, boleh?”. “Ooh iah boleh Fan, nanti kamu bisa tidur sekamar denganku”. Hah? anak perempuannya datang jauh-jauh dari Belanda tapi ibunya tak ada di rumah dan tak menyambut kedatangannya sama sekali? aneh sekali, gumam Nina dalam hati. “Nina...setiap malam minggu Odi selalu datang ke rumahmu?”. “Iah Fan dia selalu datang, dan pasti dia akan duduk di kursi itu”, kata Nina sambil menunjuk sebuah kursi. “Oh disini yah...kok Odi betah yah duduk di kursi ini, padahal kan busa nya tidak empuk”, sindir Fanya sambil berpindah tempat duduk. “Ah iah nggak tau tuh Odi”.
***
Diluar dugaan Nina, ternyata Fanya menginap dirumahnya sudah tiga hari dua malam dan itu sudah mulai membuat Nina resah. Bagaimana tidak semua hal yang dilakukan Nina selalu saja dikririk oleh Fanya dan dia selalu mencari muka di depan keluarga Nina. “Pak, ini kopi untuk bapak”, seru Nina. “Emmh maaf deh pak”, potong Fanya. Tiba-tiba saja Fanya meneguk kopi buatan Nina tadi. “Yaampun Nina ini tuh terlalu pahit, coba deh bapak cicipi...pahit kan pak?, Nina bapak itu kan nggak suka kopi yang pahit, yasudah sini biar aku saja yang membuatnya”. Kontan Nina pun jengkel dan meninggalkan Fanya dengan bapak. Berapa lama lagi sih itu anak ada disini? nggak ada yang nyariin apa orangtua nya?, gerutu Nina. Nina semakin tak tahan oleh sikap Fanya dirumahnya bahkan sampai suatu saat. Gubraakkk...terdengar suara orang terjatuh dari tangga. Fanya bergegas untuk melihat. “Yaampun adek kamu kenapa? sakit yah?”, tanya Fanya kepada Abi adik Nina. “Ja..tuh..dari tangga ka...sa..kit..”, jawab Abi sambil menangis. Tak lama Nina pun keluar dari kamarnya di atas sambil membawa remote control. “Abi kenapa?”. “Abi jatuh mba...”, jawab Abi. Seisi rumah pun panik dan mencari penyebab kenapa Abi bisa terjatuh. Terlihat ada sebuah mobil remote control tergeletak di salah satu anak tangga. Fanya pun dengan sigap berkata, “Nina kamu sedang apa dengan remote control itu?ah..iah aku ingat om..tante..tadi aku melihat mobil-mobilan itu seperti ada yang menggerakkannya dan membuat Abi menjadi terjatuh”. “Mungkin Nina tau apa yang di perbuatnya dengan remote control itu, soalnya tadi Nina dan Abi juga sempat bertengkar om gara-gara Abi ngacak-ngacak meja belajar Nina..ya kan Abi?”. “Iah ka” Fanya. Kini semua pun berpikir bahwa Nina lah yang membuat Abi terjatuh dan Nina tak bisa mengelak karna keluarganya sudah termakan omongan Nina juga bukti yang ada ditangan Nina membuatnya semakin terdesak.
Nina mencurahkan segala keluh resahnya kepada Odi dan Odi pun merasa sangat kasihan pada Nina. “Na, kamu harus yang sabar yah...kan sudah aku bilang sejak awal, Fanya itu tidak cocok untuk dijadikan teman apalagi sahabat”. “Iah di”, jawab Nina lemas. Setelah mendengar cerita dari Nina tadi, Odi semakin khawatir dengan keberadaan Fanya disana. Odi takut kalau saja Fanya sampai-sampai melakukan hal yang diluar batas Nina. Karena memang studinya di Belanda sudah usai, Odi pun berniat kembali ke Indonesia. Kepulangannya kali ini menjadi sangat berarti untuknya, karena ia juga berniat untuk melamar Nina. Tanpa sepengetahuan Nina, Odi kini sudah berada di depan pintu rumah Nina. “Assalamualaikum...”. “Waalaikumsalam...”jawab Nina membuka pintu. Betapa kagetnya Nina, melihat sosok lelaki yang dicintainya kini berada dihadapannya. Dengan rasa bahagia mereka pun berpelukan untuk melepas rindu. ‘Kenapa nggak bilang-bilang sih di?”. “Lah kan kejutan sayang, masa bilang-bilang sih”, senyum Odi. Mereka pun melanjutkan perbincangan di ruang tamu. Tiba-tiba....”Odi kapan loe dateng?”. Sontak Odi kaget melihat keberadaan Fanya di rumah Nina. “Dih..ngapain loe Fan dirumah Nina?”. “Yeyh...sekarang kan rumah Nina rumah gue juga Di”..., kata Fanya. ‘”Ngaco banget loe...udah dari kapan loe disini?”. “Udah seminggu-an lah”, jawab Fanya enteng. “Odi...loe capek yah mau gue buatin minum apa?mau makan sekalian juga di?”. “Nggak Fan, w nggak haus, laper juga nggak kok”. “Nin...loe payah banget sih...Odi pulang bukannya dikasih minum kek...malah duduk-duduk aja”. Mendengar itu Nina hanya terdiam, karena sudah bosan dengan tingkah Fanya.
Hal-hal tak menyenangkan sudah banyak dirasakan Odi dengan Nina. Terlebih dengan keberadaan Fanya. Mulai dari batalnya dinner pertama mereka karena dompet Odi hilang, karena diambil Fanya. Dituduh berbuat mesum yang akibatnya dimaki-maki warga sekampung, dituduh ngilangin pot kesayangan mama padahal Fanya yang mecahin, nabrak tukang becak waktu naik sepeda terus nyemplung ke kali gara-gara Fanya ngerusakin rem sepedanya. Dan terakhir, dia bikin Nina malu gara-gara Fanya ngasih informasi yang salah tentang kostum untuk ke pesta ultahnya Nino. Odi dan Nina pun sepakat mencari ide untuk mengatasi Fanya. Akhirnya Nina berhasil menemukan sesuatu yang penting dari saku baju Fanya. Terdapat kartu nama seorang dokter kejiwaan. Nina pun mencoba mencari tahu dengan menelpon nomor itu. Alhasil, dari informasi yang didapat ternyata Fanya adalah salah satu pasien dokter itu yang mengalami kejiwaan serius. Fanya hilang saat hendak dibawa jalan-jalan keluar oleh suster penjaga. Semua hal yang diceritakan Fanya hanyalah kebohongan saja, karena ia selalu merasa iri bila melihat ada orang di dekatnya yang bahagia ataupun banyak disukai orang, seperti ketidaksenangannya pada Nina. Nina pun memberitahu dimana keberadaan Fanya  sekarang, dan dokter itu juga berniat membawa kembali Fanya.
***
Tibalah hari bahagia yang dinanti Odi. Hari ini dia berniat untuk melamar Nina. Ia memilih tempat pertemuannya saat pertama bertemu dulu untuk dijadikan tempat dimana Odi akan melamar Nina. Gaun cantik berwarna merah telah Odi siapkan untuk Nina. Diletakkannya di dalam sebuah kotak cantik berpita. Tak lupa ia membubuhkan selembar surat untuk Nina yang bertuliskan, Datanglah ke tempat dimana kita dipertemukan pertama kalinya, pukul 19.00 malam. Jangan lupa kenakan gaun indah ini. Kasih mu. Odi. Tersenyum-senyum Nina saat menerima kotak ini. Bergegaslah ia mempercantik dirinya, dengan memberi beberapa oles riasan di wajahnya. Tak lupa ia kenakan gaun merah dari Odi. Setelah siap, Nina bergegas berangkat dengan mobil yang sudah disiapkan oleh Odi. Odi terlihat menunggu di gedung pos itu. Ditemani lilin-lilin yang ia pasang untuk memberi kesan romantis. Tak lupa ia juga menyiapkan meja dan kursi beserta hidangan malam. Tak lama Nina tiba dan kini tengah duduk dihadapan Odi. “Na...kamu sangat cantik”. “Terimakasih di, ini berkat gaun yang kau beri”. “Bukan na, ini karna kau yang memancarkan kecantikantulus dari hatimu”. “Ih...kamu jadi so sweet banget sih di..”. “Sekali-kali nggak apa-apa dong na”. ‘Tapi makasih banyak yah di, aku senenga sampai aku bingung, bagaimana aku membalasnya”. ‘Tak perlu na, tapi aku ingin kamu mengabulkan satu permintaanku’. “Apa di?”. “Nina...kamu tahu aku sangat sayang padamu, banyak rintangan yang kita hadapi bersama, kepergianku pun tak menjadi halangan untuk cinta kita,dan kau selalu setia menungguku”. “Akulah yang sangat berterimakasih padamu na, maaf kalau aku sering membuat mu khawatir dan resah”. “Tapi jujur aku tak pernah berani macam-macam, karena semua ini benar hanya untuk mu na”. “Na...mau kah kamu menjalani hidup bersama denganku?menjadi istriku yang menyayangiku dengan setulus hati?”. Merona pipi Nina mendengar kata-kata Odi, tak tahu harus berkata apa Nina. “Odi...jujur aku senang kamu mengatakan hal ini, aku sudah merasa bahagia denganmu,memang terkadang kau konyol, susah diatur, jorok, tapi aku sayang kamu di”. “Jadi aku menerima mu di”. Bergejolaklah hati Odi mendengar Nina. Bagai mimpi rasanya,ia pun spontan memeluk Nina.
Malam itu menjadi malam terindah untuk mereka. Apalagi mereka kini bisa tenang karena Fanya sudah dibawa kembali oleh dokter kejiwaanya. Dua bulan setelah Odi melamar, berlangsunglah pernikahan mereka. Pernikahan terindah seumur hidup mereka. Menjadi seorang sepasang suami-istri membuat mereka menjadi semakin lebih dewasa. Kini Odi bekerja di salah satu Perusahaan Swasta dan Nina menjadi ibu rumah tangga. Tak hanya menjadi ibu rumah tangga, Nina juga bekerja sebagai wirausaha dengan membuka catering dirumahnya. Kini ia sudah memiliki 8 orang pegawai yang selalu membantunya.
***
Menginjak satu tahun pernikahan mereka, kini mulai lengkaplah kebahagiaan. Nina kini tengah mengandung. Sudah 5 bulan bayi dalam kandungannya. Odi selalu perhatian pada istrinya. Apapun yang Nina pinta pasti Odi selalu berusaha untuk memenuhinya. Semakin besarrasa sayang Nina terhadap Odi. “Ayah...bunda sayang ayah..., seru Nina lembut. ‘Iah bunda aku juga sayang bunda, dan si kecil,ucap Odi sambil mengecup perut Nina. “Nanti kalau anak kita perempuan mau dikasih nama apa yah?dan kalau laki-laki apa yah?. “Emmhh..bagaimana kalau Dina Sekar Arum kalau perempuan dan kalau laki-laki Praditya  Utama”. “Bagus yah...”. “Nanti kalau anak kita sudah besar, bunda pengen deh yah, kita jalan-jalan keluar negeri”. “Bunda mau nya ke paris yah. Iah boleh bunda,tapi nabung dulu yah,...hehe”, jawab Odi tertawa.
***
Usia kandungan Nina kini sudah 6 bulan. Odi sudah terlihat siap-siap dengan peralatan bayi yang sudah dibelinya. Mulai dari empeng, perlak, kain popok, selimut, bantal, kaos kaki, sarung tangan dan lain-lain. Melihat kegembiraan di wajah suami nya, Nina merasa ikut bahagia. Namun entah mengapa belakangan ini, semakin dekat dengan hari melahirkannya perasaan Nina malah tak enak. Seakan akan ada sesuatu yang terjadi. “Sayang, kamu kok daritadi cemberut aja sih?kasihan kan anak kita, lihat ibunya sedih nanti dia ikut sedih, tutur Odi”. “Iah sayang maaf, memang belakangan ini aku merasa punya pikiran tak enak”. “Tenang yah bunda, kamu pasti cemas dengan kelahiran anak kita yang pertama ini, tapi jangan terlalu dibawa pikiran yah bunda”. “Iah ayah”.
***
Pagi ini terlihat cerah, cuaca yang sejuk desir angin yang lembut dan suara kicau burung yang menambah indahnya pagi ini. Seperti biasa, Odi harus pergi bekerja tak lupa ia mengendarai sepeda motornya yang selalu menemaninya. “Bunda...”, panggil Odi. “Iah ayah..”. “Ayah mau berangkat bunda, bunda hati-hati yah jangan terlalu capek, karena ayah nggak mau bunda sama bayi kecil kita kenapa-kenapa”. “Bunda, bunda janji yah sama ayah kalau bunda akan terus tersenyum, bunda jangan sedih terus”. Ayah sayang sama bunda, tak sabar rasanya bun, ingin menggendong si bayi kecil ini, kelak pasti dia akan menjadi anak yang pintar, berbakti kepada orangtua dan menjadi anak yang jujur”. ”Iah ayah...amin”. “Yasudah bunda, ayah pamit yah...oia bunda ayah minta maaf yah kalau ayah ada salah atau ayah pernah dengan sengaja atau tak sengaja melukai hati bunda, ayah selalu sayang bunda”, senyum Odi. Mendengar perkataan Odi, Nina merasa sangat sedih, dan semakin sadar betapa ia sangat menyayangi suaminya. “Iah ayah, bunda bakal jaga si kecil dengan baik sampa dia menjadi anak yang baik, bunda juga minta maaf yah ayah”. ‘Iah bunda”. “Ayah berangkat yah bunda...assalamualaikum”, ucap Odi sambil mencium kening Nina dan si kecil yang masih dikandungan. “ walaikumsalam ayah, hati-hati yah”, balas Nina sambil mencium tangan suaminya.
Selepas Odi pergi, Nina berniat untuk duduk beristirahat sambil mendengarkan musik klasik dan membaca majalah. Tak lupa ia meminum susu buatan suaminya. “Adek...kita minum susu dulu yuk,ini buatan ayah loh, ayahmu itu sangat pandai merawat bunda dan kamu sayang, ayah selalu paham akan keadaan bunda, pokoknya ayah mu itu paling top dek”. Setelah letih membaca, Nina mencoba untuk tidur dan menenangkan diri.
Jam kini menunjukkan pukul tiga sore. Tiba-tiba Nina merasakan sesuatu. Bayi dikandungannya sudah memaksa untuk keluar. Karena dirumah tak ada siapa-siapa, Nina lekas menghubungi ibunya dirumah. “Hallo ibu...bayi nya bu...Nina sudah tak kuat, sepertinya dia sudah mau keluar bu..darah juga mengalir bu..Nina takut”, ucap Nina panik. “Nina...kamu kuat yah...ibu akan segera kesana, usahakan jangan sampai kamu tertidur yah nak”. “Iah bu...oia jangan lupa berutahu Odi yah bu”. “Baik na”. Ibu Nina pun langsung menuju ke rumah Nina, sesampainya disana dengan cepat Nina dibawa ke rumah sakit terdekat. Tak lupa, ibu Nina juga mengabarkan kepada Odi bahwa Nina akan melahirkan. “Iah...bu...? di rumah sakit mana bu?Nina baik-baik saja kan bu?...saya akan segera ke sana bu..”, ucap Odi sedikit panik.
***
Bergegaslah Odi menuju rumah sakit itu. Dengan cepat ia melaju dengan motornya. Sementara Nina, sudah semakin tak kuat menahan rasa sakitnya. “ibu...Odi mana?”,tanya Nina. “Dia sudah dalam perjalanan na, kamu tenang saja”. Perut Nina sudah semakin mulas, dan proses melahirkan pun berlangsung secara normal. Odi masih melaju dengan sepeda motornya, ia semakin panik, kalau tak bisa melihat proses persalinan Nina. “Na...kamu kuat yah, kamu harus berjuang, ucap Odi dalam hati”. Sampai Nina usai dengan persalinannya, Odi pun tak kunjung datang. “Ibu...mas Odi mana?”, tanya Nina sedikit sedih. “Entah Nina, daritadi ibu mencoba menghubungi handphone nya tapi tak dijawab”. “Kemana kamu yah...”, ucap Nina dalam hati. Dari kamar persalinan, Nina mendengar suara sirine ambulan. Terdengar suara ramai orang-orang diluar. Perasaan Nina semakin tak enak. “Ibu...diluar ada apa yah? kok ramai sekali”. “Sepertinya ada korban kecelakaan Nina, sebentar yah coba ibu lihat”. Ibu Nina segera keluar dan mencoba untuk melihat. Namun sungguh-sungguh tak disangka, betapa kagetnya ibu Nina saat petugas ambulan itu membawa seorang laki-laki yang sudah bersimbah darah. Laki-laki itu Odi, dari kepalanya mengalir darah segar wajahnya pun sudah tampak pucat. Lekaslah ibu Nina menghampiri. “Odi....astagfirullah kenapa bisa seperti ini”. “Maaf ibu siapa? ibu kenal dengan bapak ini? “, tanya seorang petugas. “Iah...dia menantu saya, dan istrinya kini juga ada di rumah sakit ini sedang melahirkan”. “Oh..baik bu..saya akan membawa bapak ini keruang UGD”.
Ibu Nina lekas berlari menuju kamar Nina. Namun saat sudah diambang pintu, mendadak ibu terhenti. Ia bingung bagaimana menyampaikan hal ini pada Nina. Namun dengan sekuat tenaga ia mencoba menjelaskan pada Nina. Nina sangat lemas mendengar kabar itu, tak kuasa ia menahan air matanya nya. “Ibu...dimana Odi sekarang, bawa aku dan anakku ke sana bu..aku mohon...aku mau bertemu Odi”. “Tapi keadaan kamu na....”. “Tidak bu....keadaan Odi lebih penting dan aku tak perduli pokoknya aku ingin bertemu Odi”. Lalu dibawanyalah Nina menuju ruang UGD. Sesampainya disana, Nina melihat Odi yang terbaring lemas dan sudah sangat pucat. “Ayah....ini aku ayah...,ayah kenapa bisa seperti ini?kenapa ayah tak hati-hati saat dijalan”. “Ayah ayo cepat bangun, ayah tak boleh tidur terlalu lama, anak kita sudah lahir yah, ayah harus melihatnya”, ucap Nina terisak-isak. Dengan sisa tenaga yang ada Odi mencoba untuk membuka matanya, dilihatnya lah istri dan anaknya. “Bu...nda...maaf ayah tadi tak bisa menemani bunda, ta..pi ayah senang bunda dan anak kita selamat”. ‘Iah ayah tak apa, yang penting sekarang ayah harus kuat, ayah harus berjuang untuk anak kita”. Odi sudah merasa tak kuat dan semakin lemah, dia terus menatap anak dan istrinya itu, dengan tersenyum bahagia ia memandnag keduanya. “Bunda, ayah titip anak kita yah, dia cantik seperti mu bunda, ucap Odi terbata-bata. “Nggak ayah...kita harus membesarkannya bersama-sama”. Nina semakin bersedih mendengar ucapan Nina.
Namun takdir tak mengijinkan mereka bersama lagi. Odi pun menutup matanya dengan wajah tersenyum. Nina menangis histeris dan tak bisa mengendalikan dirinya. Kepergian Odi sangat memukul perasaan Nina. Nina terus saja menciumi Odi dan mengusap-usap kening dan kepala Odi. “Ayah...jangan tinggalkan bunda sendiri, bunda tak sanggup ayah”.
Selepas kepergian Odi, Nina sadar bahwa ia tak boleh bersedih terus-menerus. Karena masih ada si kecil yang menemaninya. Walau sangat berat bagi Nina untuk menerima kenyataan ini namun ia harus meneruskan kehidupannya bersama buah hatinya. Saat kecelakaan, rupanya Odi membawa sebuah kotak hadiah yang ditujukan untuk Nina. Kotak itu berisi sebuah mawar putih dan bingkai foto. Terdapat pula secarik surat didalamnya yang berisikan
Nina...selamat  yah...sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu untuk buah hati kita. Aku senang Nina. Aku kini menjadi seorang ayah, dan kau menjadi bunda nya.Untuk nama anak kita, aku percayakan pada mu saja na. Aku hanya bisa memberimu kado kecil na, didalam kotak ini ada bunga mawar putih untuk mu, tanpa sepengetahuan mu sejak dulu aku sudah menanam bunga mawar ini. Aku memberinya pupuk, menyiraminya dan merawatnya dengan baik. Seperti hal nya aku merawat dan menjaga dirimu Nina. Dan bingkai foto ini, aku ingin kau pasangkan foto kita bertiga, aku,kamu dan si kecil. Tersenyum Nina membaca surat itu, dan kini ia sudah bisa mengikhlaskan kepergian Odi. Dengan semangat dan rasa cinta ia membesarkan buah hati nya. Nina pun yakin didalam hatinya, jika pada suatu hari nanti, kelak pasti ia akan bertemu dengan suami tercinta.

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Puisi Jante Arkidam

Analisis Fonem Bahasa Li Niha